Perubahan ekspektasi itu menyusul data pembukaan lapangan kerja AS yang dirilis tadi malam, menunjukkan kenaikan ke level tertinggi dalam enam bulan.
Analisis dari Bank of America memperkirakan bahwa data ekonomi yang kuat dapat dianggap negatif oleh pasar saat ini, karena itu memperkuat alasan The Fed mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, dilansir dari Bloomberg News.
Di sisi lain, pejabat The Fed kembali melontarkan pernyataan bernada hawkish, menggarisbawahi lagi kekhawatiran mereka terhadap inflasi di negeri itu.
Gubernur Federal Reserve Bank of Atlanta, Raphael Bostic, menyarankan agar pejabat Federal Reserve berhati-hati dalam mengambil keputusan kebijakan, mengingat kemajuan penurunan inflasi yang masih belum merata. Ia menekankan pentingnya mempertahankan suku bunga pada tingkat yang relatif tinggi untuk mencapai target stabilitas harga.
Perkembangan lanskap global itu bisa menjadi sentimen negatif bagi aset-aset emerging market, termasuk rupiah, karena imbal hasil investasi di AS yang kian tinggi akan membuat daya tarik surat utang RI semakin pudar di mana tekanan jual sudah berlangsung dalam beberapa hari terakhir.
Sinyal pelemahan itu terlihat di pasar forward offshore. Rupiah Non Deliverable Forward (NDF) kontrak 1 bulan ditutup melemah lagi 0,14% di New York dini hari tadi dan pagi ini masih tertekan di kisaran Rp16.223/US$.
Pada pembukaan pasar Asia hari ini, mayoritas mata uang di kawasan terhantam oleh dolar AS. Ringgit melemah terdalam hingga 0,39%, disusul oleh baht 0,32%, won Korsel juga melemah 0,13%, yen 0,08% dan dolar Singapura bersama dengan yuan offshore bergerak turun 0,04% dan 0,03%.
Narasi bagi mata uang Asia agaknya telah berbalik. Bagi rupiah yang kemarin berhasil menguat 0,40% ke level Rp16.131/US$, mungkin akan sulit untuk melanjutkan perlawanan terhadap dolar AS.
Tekanan jual melanda pasar surat utang RI pada perdagangan Selasa kemarin di mana yield SUN tenor 10 tahun sudah berada di 7,10% dan membawa selisih imbal hasil Indonesia dengan AS menyempit menjadi 242 basis poin.
Lelang SUN perdana tahun 2025 yang digelar kemarin nyatanya menarik minat yang minim dari pelaku pasar dengan penurunan incoming bids 19%, sehingga Pemerintah RI menerbitkan surat utang di bawah target indikatif yaitu hanya Rp26,2 triliun.
Hari ini, pelaku pasar akan mencermati rilis data cadangan devisa bulan Desember yang akan memperlihatkan berapa nilai devisa terkuras untuk menjaga rupiah sepanjang tahun lalu. Tekanan terhadap rupiah meningkat dengan cepat sejak keterpilihan Donald Trump sebagai Presiden AS ke-47 dan membuat pejabat bank sentral di seluruh dunia kebakaran jenggot.
Sepanjang tahun lalu, rupiah merosot nilainya 4,38%. Sementara selama Desember saja, rupiah telah kehilangan 1,60% nilai. Posisi cadangan devisa RI pada November sudah berkurang US$990,7 juta ke posisi US$150,24 miliar. Penurunannya relatif kecil karena terbantu penjualan obligasi dolar AS oleh Pemerintah RI.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melemah menuju area Rp16.150 hingga Rp16.200/US$, dengan mencermati support terkuat rupiah pada Rp16.250/US$.
Sementara trendline terdekat pada time frame daily menjadi resistance psikologis paling potensial di level Rp16.100/US$. Target penguatan optimis lanjutan untuk dapat kembali menguat ke level Rp16.000/US$.
Selama rupiah bertengger di atas Rp16.200/US$ usai tertekan, maka masih ada potensi untuk lanjut melemah hingga Rp16.300/US$.
Sebaliknya apabila terjadi penguatan hingga Rp16.000/US$ dalam tren jangka menengah (Mid-term), maka rupiah berpotensi terus menguat hingga Rp15.950/US$.
(rui)































