Bloomberg Technoz, Jakarta - Saham emiten pertambangan Grup Sinarmas, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) masuk papan pemantauan khusus (PPK) full call auction (FCA).
Masuknya saham DSSA ke papan FCA tak lama setelah harga pemecahan saham atau stock split berlaku efektif, Kamis (18/7/2024).
Saham DSSA masuk FCA dengan notasi X. Notasi ini diberikan lantaran DSSA telah disuspensi selama lebih dari 1 hari, berdasarkan kriteria nomor 10.
Saham DSSA sempat disuspensi selama dua hari berturut-turut, tepatnya pada 16 Juli dan 17 Juli 2024. Suspensi dilakukan karena adanya anomali kenaikan harga saham yang signifikan.
DSSA sebelumnya melakukan stock split di rasio 1:10. Artinya, harga yang sebelumnya Rp290.000/saham berubah menjadi Rp29.000/saham.
Harga saham DSSA sempat menjadi yang termahal di BEI.
Kepala Divisi Pengawasan Transaksi BEI Yulianto Aji Sadono mengatakan, awal perdagangan harga teoretis untuk pedoman tawar menawar ditetapkan dengan nilai nominal Rp25.
Pada saaat yang sama, BEI meniadakan perdagangan saham DSSA di pasar tunai mulai tanggal 18 Juli 2024 sampai 19 Juli 2024.
Sementara, awal perdagangan saham DSSA dengan nominal baru Rp25/saham hasil stock split di pasar tunai dilaksanakan mulai tanggal 22 Juli 2024.
Emiten Turut Dirugikan
Kebijakan FCA belakangan memang mencuri perhatian. Bukan hanya investor, kebijakan ini juga dinilai bisa merugikan emiten.
"Kebanyakan pemangku kepentingan seperti perusahaan, market maker, trader dan investor yang ingin jual, mereka ini paling dirugikan," ujar analis Algo Research Alvin Baramuli.
FCA sejatinya bertujuan untuk meningkatkan likuiditas, terutama untuk saham dengan harga Rp50. Kebijakan ini juga bertujuan untuk memberikan transparansi dan perlindungan investor.
"Pada kenyataannya, kebijakan tersebut justru bertindak berlawanan dengan tujuan semula, bahkan justru memperburuk keadaan," terang Alvin.
Menurutnya, ada tiga hal yang salah dalam kebijakan FCA.
Pertama, jika tujuannya untuk meningkatkan likuiditas saham Rp50 dan membuat investor lama bisa keluar, justru akan lebih baik jika dilakukan dengan sesi terbuka.
Justru dengan sistem lelang akan mempersulit investor untuk menemukan bid atau offer dan menghalangi potensi likuiditas baru.
Kedua, jika tujuannya adalah transparansi, mengapa tidak dilakukan live session seperti perdagangan normal.
"Bid atau offer dalam sistem auction, dilakukan di 'belakang pintu yang tertutup'. Jadi, dimana transparansi dan efisiensinya?" kata Alvin Baramuli.
Jika tujuannya adalah untuk melindungi investor, FCA justru melakukan hal yang sebaliknya. Tanpa melihat bid, investor yang ingin menjual mungkin akan menjual pada harga terendah untuk keluar dengan cepat.
"Namun, mengapa investor menawar jika mereka bisa menunggu hingga harganya rendah seperti Rp1/saham? Ini menimbulkan kerugian maksimal bagi penjual."
(ibn/dhf)