Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah lebih dulu menuntaskan revisi Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Hal itu disampaikan sebagai respon terhadap kabar rencana pemerintah menerapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi mulai 17 Agustus mendatang.

"Saya kira, kita juga menanti revisi Perpres tersebut," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno dikutip dari laman DPR, Selasa (16/7/2024).

Menurut dia, ada dua hal penting yang perlu dicantumkan dalam revisi Perpres tersebut. Pertama, terkait Kategori atau kriteria kelompok masyarakat dan kendaraan yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi. Kedua, terkait sanksi yang diberikan kepada mereka yang masih membeli atau menjual BBM bersubsidi yang bertentangan dengan Perpres itu.

 "Kebijakan ini dikeluarkan agar anggaran subsidi yang telah dikeluarkan Pemerintah itu tepat sasaran kepada masyarakat yang membutuhkan," kata dia.

Politikus PAN tersebut juga meminta pemerintah memastikan BBM bersubsidi tetap tersedia bagi kelompok masyarakat ekonomi kelas bawah, seperti ojek online, sopir angkot, kendaraan UMKM, hingga sepeda motor.

Menurut dia, kebijakan pengetatan penyaluran BBM Bersubsidi akan berdampak signifikan pada anggaran pemerintah. Dia memprediksi pemerintah mampu berhemat hingga ratusan triliun. 

Pada 2024, kata Eddy, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk jenis BBM tertentu atau JBT-Solar dan jenis bahan bakar khusus penugasan atau JBKP-Pertalite senilai Rp163 triliun. Dia memperkirakan 80% dari subsidi tersebut digunakan atau dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas.

Wacana kebijakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi pertama kali dikeluarkan oleh Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melalui unggahan di akun Instagram resmi miliknya. Ia mengatakan Pemerintah akan memulai pembatasan ini pada 17 Agustus 2024.

DPR meminta pemerintah melakukan sejumlah persiapan mulai dari revisi aturan hingga sosialisasi meski belakangan sejumlah pejabat pemerintah terutama Kementerian ESDM membantah wacana tersebut.

(red/frg)

No more pages