Logo Bloomberg Technoz

"Standar penyaluran kredit yang lebih ketat tersebut diprakirakan terjadi pada hampir seluruh jenis kredit, kecuali KPR dan KPA. Sebagian besar aspek kebijakan penyaluran kredit diprakirakan lebih ketat dibandingkan kuartal sebelumnya, khususnya suku bunga kredit," kata BI dalam publikasi yang dikutip hari ini.

Perihal agunan juga akan mengarah pada pengetatan. Sedangkan untuk tenor atau jangka waktu kredit dan administrasi, hasil survei memperkirakan para bankir masih akan menerapkan kebijakan lebih longgar.

Beberapa bank sudah bergerak merespon perubahan bunga acuan tersebut, salah satunya bank terbesar di Indonesia PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Hasil asesmen yang dilakukan BRI terhadap kondisi perekonomian global dan domestik menunjukkan bahwa ekonomi pada kuartal II memiliki risiko tinggi dengan potensi pertumbuhan moderat.

Berdasarkan hasil simulasi, Direktur Utama BRI Sunarso menyatakan, hingga Juni nanti ekspansi kredit perseroan akan dibawa ke level moderat dan menerapkan kriteria penyaluran kredit lebih ketat.

“Kriteria-kriteria untuk menyalurkan kredit kami perketat. Kemudian kami monitoring kredit bermasalah [NPL] secara cepat. Simulasi dan asesmen harus kami lakukan secara berkelanjutan,” kata Sunarso. 

Bank pelat merah yang berkonsentrasi di sektor kredit perumahan, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) bahkan akan menurunkan target penyaluran kredit merespon kenaikan bunga acuan yang diperkirakan bisa mengerek biaya dana menjadi lebih mahal.

Semula, perseroan akan mengejar target pertumbuhan kredit 13%-14% tahun ini. Akan tetapi target itu berencana dipangkas jadi 10%-11%. Kenaikan BI rate akan membuat kompetisi perebutan likuiditas antarbank menjadi makin ketat. Buntutnya, biaya dana jadi lebih mahal yang bisa mempengaruhi tingkat bunga kredit.

KPR Masih Longgar

Hasil survei yang sama mencatat, pengetatan kebijakan penyaluran kredit diperkirakan terjadi semua jenis pinjaman, kecuali KPR dan KPA. Namun, para bankir diprediksi masih akan memfokuskan prioritas penyaluran kredit baru untuk jenis kredit modal kerja, kredit investasi, baru kredit konsumsi.

KPR dan KPA termasuk kredit konsumsi dan masih menjadi andalan utama lini pinjaman ini dalam menggenjot penyaluran kredit, selain kredit multiguna dan kredit kendaraan bermotor.

Era bunga tinggi di seluruh perekonomian yang berdampak sampai ke dalam negeri, juga akan membawa laju kredit perbankan tahun ini kembali lesu.

Survei mencatat, secara keseluruhan, prakiraan pertumbuhan kredit sepanjang 2024 diprediksi masih tumbuh positif namun tidak setinggi realisasi pertumbuhan kredit pada 2023 dan 2022 yang mencapai masing-masing 10,4% dan 11,4%.

Pada saat yang sama, tren pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan sampai akhir tahun ini juga masih lesu, semakin rendah dibanding tahun 2023 lalu.

Beban Cicilan Naik

Meski menurut hasil survei lending standard untuk KPR dan KPA masih longgar, keputusan kenaikan BI rate tetap berdampak pahit bukan hanya bagi para bankir tapi lebih besar lagi dirasakan oleh para debitur atau nasabah kredit yang saat ini menanggung bunga mengambang alias floating rate.

Bunga acuan yang meningkat bisa mempengaruhi kebijakan bunga perbankan sebagai efek berantai dari lonjakan suku bunga di pasar uang antar bank dan pasar surat utang, yang mengerek biaya dana (cost of fund).

Efek ke bunga kredit perbankan memang akan berbeda-beda bergantung pada kondisi likuiditas masing-masing dan kebijakan penyaluran kredit. Bank dengan kondisi likuiditas lebih ketat, mungkin akan lebih cepat mentransmisikan kenaikan bunga acuan ke suku bunga kredit ke konsumen.

Kenaikan BI rate ke 6,25% akan membawa suku bunga pasar uang antar bank bergerak naik. Kini PUAB O/N sudah makin mahal di 6%. Sementara PUAB satu minggu dan satu bulan masing-masing sudah bergerak ke 6,5% dan 6,9% saat ini. Instrumen surat utang juga bergerak naik imbal hasilnya di mana yield SBN 5Y kini di 7,089%, lalu 10Y naik ke 7,172%, 15Y juga bergerak semakin naik ke 7,200% dan 20Y di 7,124%.

Langkah BI menaikkan bunga acuan pada Oktober ke 6%, lima bulan lalu, masih berimbas pada pergerakan harga pokok dana untuk kredit (HPDK) alias cost of fund yang merupakan salah satu komponen penyusun suku bunga dasar kredit. Kenaikan lagi BI rate ke 6,25% kemungkinan besar akan memperpanjang periode lonjakan bunga kredit bank, termasuk bunga floating KPR.

Di perbankan saat ini, bunga KPR floating terendah sekitar 11%. Beberapa bank ada yang mematok bunga mengambang untuk KPR hingga ke kisaran 14% atau 14,5%. Sebagian lagi mematoknya dengan acuan bunga LPS + 6%. Bunga LPS sekarang masih ditahan di 4,25% untuk produsk simpanan rupiah dan berlaku sampai Mei nanti.

Dampak kenaikan BI rate terhadap beban cicilan KPR bisa disimulasikan secara sederhana sebagai berikut:

Asumsi

Seorang pekerja swasta membeli rumah di pinggiran Jabodetabek dengan KPR bank pelat merah dengan total utang Rp500 juta. KPR memiliki tenor 20 tahun dengan masa fixed rate 3 tahun sebesar 6% per tahun. Mulai tahun keempat dan selanjutnya, bunga KPR ditetapkan floating rate dengan penyesuaian tiap enam bulan oleh bank.

Asumsi floating rate mulai tahun keempat adalah 12%. Memasuki tahun ketujuh pada 2024 ini, bunga KPR naik jadi 14% akibat kenaikan BI rate.

Besar cicilan

Cicilan masa fixed rate 6% p.a.: Rp3,58 juta per bulan

Cicilan masa floating rate 12% p.a.: Rp5,26 juta per bulan

Cicilan masa floating rate 14% p.a.: Rp5,81 juta per bulan

Kesimpulan

Terjadi kenaikan beban cicilan 47% dari masa bunga tetap ke bunga mengambang. Kenaikan BI rate mengerek kenaikan beban cicilan 10% atau sekitar Rp600.000. Tanpa diimbangi dengan penambahan pendapatan, porsi beban cicilan yang semakin besar bisa menekan alokasi penghasilan untuk kebutuhan lain.

-- dengan bantuan laporan Sultan Ibnu Affan.

(rui/Infog)

No more pages