Logo Bloomberg Technoz

Dia pun tak mengkhawatirkan bagaimana peta persaingan kedua jenis bahan baku baterai EV itu terhadap pasar ekosistem otomotif Tanah Air.

"Kalau [nanti] sudah jadi produk, menurut saya ya market saja nanti yang menilai, setelah jadi intermediate itu pasti kan lebih banyak di market [penilaiannya]."

Senada dengan itu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) juga mengatakan, peluang Indonesia dalam pengembangan LFP kini juga tengah dikaji, seiring dengan mulai masifnya integrasi RI dalam pengembangan rantai pasok EV.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Septian Hario Seto menilai proses pembuatan baterai LFP lebih mudah dibandingkan dengan baterai EV berbasis nikel. Dengan demikian, peluang pengembangan bahan baku baterai yang sempat memicu perdebatan beberapa waktu lalu itu makin terbuka lebar.

Dia mengatakan Indonesia, sebagai negara yang memilii sumber daya nikel terbesar dunia, pun tak serta-merta hanya akan memanfaatkan komoditas mineral itu untuk menjadi hub dalam rantai pasok EV global ke depan.

"Memang harus ada LFP, kalau enggak, ya transisi energi dan jualan EV-nya akan terhambat nanti. Jadi kita juga enggak perlu terlalu khawatir," ujar dia.

Laboratorium sertifikasi mutu konsentrat mineral untuk industri baterai LFP di Kota Quebec, Kanada, Selasa (20/6/2023). (Renaud Philippe/Bloomberg)


Bahkan, Seto mengatakan, salah satu perusahaan asal China kini telah ingin memulai untuk memproduksi LFP di dalam negeri, bersamaan dengan proses integrasi bahan baku lainnya.

"Iya, mungkin LFP untuk battery pack-nya sudah [tahun ini] ya. Namun, kita mau lihat katodanya dan segala macam, toh mereka akan mau bangun ekosistemnya," ujar dia.

(ibn/wdh)

No more pages