Logo Bloomberg Technoz

"Yang penting utang itu produktif, saya setuju. Kita bisa sampai 50% nggak ada masalah. Kita tidak pernah default," katanya.

Utang Pemerintah di Atas Rp 8.000 Triliun

Sepertinya yang dimaksud Prabowo adalah utang pemerintah, bukan utang luar negeri. Sebab, rasio utang luar negeri ternyata lebih rendah dari apa yang disebut Prabowo.

Bank Indonesia (BI) melaporkan, Utang Luar Negeri (ULN) per Oktober adalah US$ 392,2 miliar atau sekira Rp 6.076,35 triliun. Angka itu mewakili 28,7% dari PDB.

Mungkin yang dimaksud Prabowo adalah utang pemerintah. Kalau yang ini, angkanya memang mendekati. Per November, total utang pemerintah tercatat Rp 8.041,01 triliun atau setara 38,11% PDB.

Dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, ditetapkan bahwa batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB adalah 60%. Jadi angka saat ini masih jauh di bawah itu, dan kalau naik sampai 50% (seperti yang disinggung Prabowo) juga relatif masih aman.

Namun, perlu dicatat bahwa beban utang pemerintah makin bertambah. Dalam APBN 2024, anggaran untuk membayar bunga utang sudah hampir mencapai Rp 500 triliun.

Sumber: Kemenkeu

Mengutip riset Dana Moneter Internasional (IMF) yang berjudul Economic Growth After Debt Surges, hubungan peningkatan utang dan pertumbuhan ekonomi sebagian besar memang negatif. Biasanya, peningkatan utang baik oleh pemerintah maupun swasta akan diikuti oleh penurunan belanja negara dan investasi swasta.

"Perusahaan dan pemerintah mengurangi investasi akibat kondisi yang ketat. Lonjakan utang pemerintah juga berdampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga, karena kemungkinan besar akan ada kenaikan tarif pajak. Rumah tangga akan mengerem konsumsi karena khawatir dengan kenaikan tarif pajak ini," ungkap riset tersebut.

Indonesia Tak Pernah Default?

Kemudian mari kita sedikit selami tentang pernyataan Prabowo lainnya. Apakah betul Indonesia tidak pernah default?

Saat ini, peringkat utang (rating) Indonesia memang relatif bagus. Standard & Poor’s (S&P) memberi rating BBB dengan outlook stabil per April 2023. Ini sudah masuk kelompok layak investasi (investment grade).

“Menurut S&P, beberapa faktor yang mendukung afirmasi ini adalah prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, rekam jejak kebijakan yang hati-hati, dan konsolidasi fiskal yang berjalan dengan cepat. Outlook stabil mencerminkan bahwa S&P memperkirakan Indonesia akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang solid dalam 2 tahun ke depan yang akan mendukung kinerja fiskal dan stabilisasi utang,” papar keterangan resmi S&P.

Kemudian Fitch Ratings menyematkan peringkat BBB dengan outlook stabil per September 2023. Ini juga sudah tergolong investment grade.

“Konsumsi domestik tetap kuat dan mendukung proyeksi pertumbuhan ekonomi 5% pada 2023. Pertumbuhan ekonomi sudah stabil di sekitar sebelum pandemi. Kami memperkirakan ekonomi akan tumbuh 5,2% pada 2024 dan 5% pada 2025,” sebut keterangan tertulis Fitch.

Lalu Moody’s memberikan peringkat Baa2 dengan outlook stabil per Januari 2024. Juga termasuk investment grade.

“Beberapa faktor yang mendukung adalah berlanjutnya ketahanan ekonomi serta efektivitas kebijakan moneter dan makroekonomi. Reformasi struktural yang ditempuh pemerintah diyakini mampu mendukung daya saing investasi dan ekspor. Di sisi lain, reformasi penerimaan dan normalisasi fiskal mendukung stabilisasi utang,” jelas keterangan Moody’s.

Namun bukan berarti Indonesia tidak pernah default. Itu pernah terjadi, meski sudah lama sekali.

Pada 1998, kala krisis ekonomi, Indonesia pernah mendapat rating SD (Selective Default) dari S&P. Artinya, Indonesia tidak mampu memenuhi sebagian dari kewajibannya.

Baru pada Maret 1999 S&P menaikkan rating Indonesia menjadi CCC. Berdasarkan keterangan S&P, rating CCC berarti obligor masih rentan dan tergantung terhadap iklim usaha yang kondusif untuk memenuhi kewajibannya.

Jadi kurang tepat kalau Indonesia dikatakan tidak pernah default. Indonesia pernah mengalaminya, meski itu sudah terjadi lebih dari 25 tahun lalu.

(aji)

No more pages