Logo Bloomberg Technoz

Berdasarkan data dari Kemendag, negara tujuan ekspor nonmigas Januari-November pada 2023 adalah China senilai USD56,57 miliar, Amerika Serikat USD21,17 miliar, India USD18,45 milliar, Jepang USD17,28 miliar, dan Filipina USD10,21 miliar. 

“Sehingga surprise (kaget) juga target pertumbuhan ekspor naik di tengah pelemahan ekonomi dunia. Kecuali bahwa ekonomi dunia lagi membaik. Tahun ini kan sebenarnya sama dengan 2023, pertumbuhan ekonomi dunia 2,8% atau 2,7%,” ujar Tauhid kepada Bloomberg Technoz, Jumat (5/1/2024). 

“Kita lihat kan 2023 growth turun. Memang surplus tapi dibandingkan 2022 turun. Saya kira ini yang terjadi bahwa di tahun 2024 ada turun tapi sedikit. Agak luar biasa kalau target growth sampai 4% artinya meningkat dibandingkan tahun 2023,” lanjutnya. 

Kedua, Indonesia juga berpotensi tidak bisa mendapatkan keuntungan dari harga komoditas pada tahun 2024. Berbeda dari tahun 2022, Tauhid menilai, tidak ada momentum yang dapat mendongkrak harga komoditas. 

Saat itu, harga komoditas melambung tinggi imbas Perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan Indonesia diuntungkan melalui fenomena tersebut. Sebab, konflik Israel dan Palestina juga tidak menyebabkan peningkatan harga komoditas. 

Ketiga, pasar nontradisional yang ditargetkan Indonesia untuk ekspor 2024 dinilai juga tidak mampu menggantikan nilai ekspor Indonesia ke pasar-pasar tradisional lainnya. 

Perlu diketahui, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan Kemendag bakal menyasar pasar nontradisional seperti India, Pakistan, Mesir, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Pasar-pasar tersebut dinilai potensial karena perdagangan Indonesia dengan beberapa negara tersebut sudah mencatatkan surplus.

“Tidak (bisa mendongkrak) sih. Kalau pasar yang baru sama sekali artinya bukan yang konvensional rasanya kecil sekali. Kalau pun ada peluang adalah pasar tradisional tapi yang growth ekonomi masih tumbuh positif,” ujar Tauhid. 

“Kalau China, Amerika Serikat, Korea, Jepang terus turun, mengganti substitusi negara lain tidak mudah, kalau pun ada kecil. Jadi memang selalu ada strategi mencari pasar baru tapi mendongkrak dari pelemahan negara lain tidak mudah dalam waktu cepat karena situasinya ekonomi dunia growth tidak lagi tinggi pada 2024,” lanjutnya. 

Indonesia Tidak Ambisius Menggenjot Manufaktur

Tauhid juga mengamini fakta bahwa Indonesia tidak ambisius dalam menggenjot manufaktur. Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia saat ini tengah menggembar-gemborkan hilirisasi, khususnya nikel. 

Padahal, Indonesia saat ini baru mampu untuk membuat produk antara, bukan produk jadi dengan nilai tambah yang sangat besar. 

“Kita hilirisasi rata-rata hanya menghasilkan produk antara, produk akhir itu yang punya teknologi, negara maju. Misalnya mobil, hilirisasi tingkat tinggi tapi kita hanya menghasilkan nikel diolah jadi baja tahan karat. Itu kan hanya materialnya. Tapi untuk membuat mobil negara lain yang dominan dan nilai tambah mereka yang lebih besar,” ujar Tauhid. 

“Atau nikel, sekarang kan masih Nickel Pig Iron (NPI) daripada diolah jadi baterai. Baterai kan proses panjang, investasi besar dan tidak mudah teknologinya. Memang lebih susah dan kita tidak mau kerja keras soal itu,” lanjutnya. 

Apalagi, pendanaan untuk riset dan pengembangan (research and development/RND) di Indonesia hanya berkisar 0,2% dari produk domestik bruto (PDB). Menurut Tauhid, seharusnya pemerintah mengalokasikan dana yang lebih besar untuk pengembangan manufaktur dan sumber daya manusia.

(dov/ain)

No more pages