Logo Bloomberg Technoz

Rupiah Melemah ke Atas Rp 15.200/US$, Perlukah BI Naikkan Bunga?

Ruisa Khoiriyah
27 February 2023 13:55

Ilustrasi Rupiah (Brent Lewin/Bloomberg)
Ilustrasi Rupiah (Brent Lewin/Bloomberg)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Ketidakpastian ekonomi global diperkirakan akan semakin meningkat dalam pekan-pekan ke depan setelah data terbaru perekonomian Amerika Serikat (AS) yang dirilis akhir pekan lalu telah membuat pasar global gugup dan menyulut aksi jual investor di seluruh dunia. 

The Federal Reserves diperkirakan akan terus mengerek bunga hingga ke level 5,4%-5,5% tahun ini dan mempertahankan rezim bunga tinggi untuk waktu yang lebih lama lagi. Tekanan eksternal itu telah membuat kinerja pasar saham dan obligasi domestik terseret. Volatilitas rupiah semakin tajam. Desakan pada Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan lagi bunga acuan mulai terdengar.

Pelaku pasar di seluruh dunia gugup lagi usai rilis data Personal Consumption Expenditure (PCE) Index oleh Bureau of Economic Analysis Amerika Serikat pada Jumat pekan lalu. Data yang menjadi salah satu penentu utama arah kebijakan The Fed itu ternyata lebih tinggi dari perkiraan pasar. Artinya, tingkat inflasi di Negeri Paman Sam itu masih belum terkendali. 

Kebijakan bank sentral paling berpengaruh di dunia itu sangat agresif dalam setahun terakhir. Namun, kenaikan suku bunga acuan ternyata belum cukup menggiring inflasi mendekati target The Fed di angka 2%. Per Januari 2023, inflasi AS masih di 6,4% year-on-year (yoy).

Alhasil, kekhawatiran bahwa The Fed akan meningkatkan bunga dan mempertahankannya dalam waktu lama memicu aksi jual investor. Kenaikan bunga acuan tidak pernah disukai oleh investor saham maupun obligasi.