Logo Bloomberg Technoz

Skenario kedua menggunakan kebijakan-kebijakan transisi yang tidak agresif. Namun, dengan skenario ini, penurunan emisi di negara maju hanya dapat ditekan 40% di bawah tingkat emisi saat ini, sedangkan di negara berkembang hanya 10%.

Polutan karbon di dunia (Sumber: Bloomberg)

Menurut laporan tersebut, kebanyakan negara masih mengandalkan kebijakan belanja anggaran untuk proyek-proyek energi bersih, seperti melalui subsidi energi baru terbarukan (EBT) maupun mendorong investasi publik.

Akibatnya, papar IMF, biaya yang harus ditanggung pemerintah demi proyek transisi energi pun membengkak dan bahkan membebani ketahanan fiskal. Hal itulah yang dinilai menjadi penyebab ongkos pencapaian target nol emisi karbon menjadi mahal.

“Dan mungkin akan meningkatkan utang publik sebesar 45%—50% PDB perwakilan negara dengan emisi besar, dan menempatkan utang mereka pada jalur yang tidak berkelanjutan. Risiko makroekonomi juga makin meningkat,” papar IMF dalam annex laporan tersebut.

Harga Karbon

Guna mengatasi hal tersebut, IMF menyarankan agar negara-negara dunia dapat mulai menetapkan harga karbon, yang lebih hemat biaya dalam upaya mengurangi emisi serta dapat menghasilkan pendapatan untuk meringankan beban utang negara.

“Namun, penetapan harga karbon seringkali tidak populer. [...] Tatangan seperti ini sangat berat bagi negara-negara berkembang, mengingat mereka juga memprioritaskan pertumbuhan dan pembangunan. Mereka juga memiliki akses terbatas terhadap teknologi rendah karbon, meskipun teknologi yang ada dapat membantu negara-negara [maju] untuk mencapai sekitar 90% pengurangan emisi yang dibutuhkan pada 2030 untuk memenuhi sasaran suhu.”

Meski mengakui belum ada satu pun kebijakan yang dapat sepenuhnya mengatasi isu pembiayaan transisi energi, IMF menyarankan agar penetapan harga karbon harus mulai dilakukan sebagai bagian integral dari kebijakan suatu negara.

Penetapan harga karbon juga harus dilengkapi dengan instrumen mitigasi lainnnya seperti feebates, subsidi ramah lingkungan, dan regulasi standar lainnya untuk mendorong inovasi dan penerapan teknologi rendah karbon.

Selain itu, transfer fiskal kepada pekerja rentan, keluarga, dan komunitas juga dinilai dapat membantu mengatasi masalah tingginya harga energi.

“Pengalaman sukses dari negara-negara di berbagai tahap perkembangan menunjukkan bahwa pendekatan ini dapat membantu mengurangi hambatan politik yang terkait dengan penetapan harga karbon.” 

Kebutuhan investasi transisi energi di Indonesia. (Sumber: Bloomberg)


Saat ini, menurut IMF, hanya 50 negara yang sudah memiliki skema penetapan harga karbon, tetapi lebih dari 23 negara sudah mulai memikirkan untuk mulai menerapkannya.

Adapun, harganya berkisar dari US$130 per ton CO2 di Liechtenstein hingga yang terendah sekitar US$5 di Argentina. Dalam program perdagangan nasional China, satu ton karbon dioksida saat ini bernilai US$10,40.

Rata-rata harga karbon dunia adalah US$20 per ton, dan kebijakan tersebut mencakup sekitar 25% emisi global.

Sementara itu, kebutuhan nilai investasi transisi energi di negara-negara maju dan berkembang secara kolektif ditaksir mencapai US$2 triliun per tahun pada 2030, naik dari jumlah saat ini sekitar US$400 miliar.

RI Merasa Belum Butuh

Di Indonesia sendiri, Kementerian Keuangan menegaskan belum berkeinginan menerapkan pajak karbon, kendati bursanya sudah diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 26 September tahun ini.

Febrio mengatakan, tanpa perlu penerapan pajak, pasar karbon masih sangat menjanjikan, terutama dari industri kehutanan. Terlebih, perekonomian Indonesia saat ini punya peluang dari pasar karbon tersebut.

"Kalau pasar karbonnya tidak perlu ada pajak karbon, jadi kita harapkan pasar karbon jalan dahulu," ujar Febrio saat ditemui di sela International Geothermal Convention and Exhibition Forum, Rabu (20/9/2023).

Namun demikian, Febrio tidak menampik ke depannya otoritas fiskal bisa saja menerapkan aturan pajak karbon, jika hal tersebut masuk dalam konteks peta jalan nol emisi Indonesia.

Febrio juga menjelaskan penetapan harga karbon nantinya akan menggunakan mekanisme pasar, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. 

Dari mekanisme pasar tersebutlah nanti yang menggambarkan minat global jika ingin berpartisipasi mengurangi emisi di indonesia, dan bakal jadi pertimbangan apakah pemerintah perlu menerapkan pajak karbon atau tidak.

“[Saat ini] kita enggak butuh pajak karbon. Nanti kita lihat lagi [potensinya]," tuturnya.

(wdh)

No more pages