Logo Bloomberg Technoz

Opini

Menakar Transformasi BPR 2023

Paul Sutaryono
09 March 2023 13:16

Tumpukan uang dollar AS ( Dok. Freepik )
Tumpukan uang dollar AS ( Dok. Freepik )
Paul Sutaryono merupakan Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat, Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI), Unika Atma Jaya dan Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB), Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)

Pada medio Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan menjadi UU. UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) itu antara lain menitahkan perubahan nama Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat dengan akronim tetap BPR. Perubahan nama itu sudah semestinya diikuti dengan transformasi (perubahan besar-besaran).

Bagaimana mewujudkan transformasi 2023 itu?

Sejauh mana kinerja BPR konvensional (tidak termasuk BPR syariah)? Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 17 Februari 2023 menunjukkan bahwa  kredit tumbuh 10,67% (yoy) dari Rp 115,61 triliun per November 2021 menjadi Rp 127,94 triliun per November 2022. Pertumbuhan kredit yang cukup subur walaupun masih di bawah pertumbuhan kredit bank umum 11,16%.

Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 7,98% dari Rp 132,01 triliun menjadi Rp 142,55 triliun lebih rendah daripada pertumbuhan DPK bank umum 8,78%. Loan to deposit ratio (LDR) naik dari 74,63% menjadi 76,63%. LDR BPR itu lebih rendah daripada LDR bank umum 79,60% dan di bawah ambang batas 78-92%. Dengan bahasa lebih bening, penyaluran kredit BPR kurang agresif mengingat sektor riil belum pulih sepenuhnya setelah digempur pandemi.

Laba tahun berjalan naik 14,02% dari Rp 2,71 triliun menjadi Rp 3,09 triliun. Kenaikan laba itu jauh lebih rendah daripada kenaikan laba sebelum pajak bank umum 41,59%.

Imbal hasil aset (return on assets/ROA) mengalami penurunan dari 1,79% menjadi 1,74%. Hal itu berarti kualitas aset (asset quality) menurun namun masih di atas ambang batas 1,5%. Imbal hasil ekuitas (return on equity/ROE) pun mengalami penipisan dari 15,71% menjadi 15,06%. Lugasnya, kualitas ekuitas tampak menurun tetapi masih di atas ambang batas 12%.

Faktor Kunci Keberhasilan

Lantas, apa saja faktor kunci keberhasilan (key success factors) yang wajib dipenuhi untuk mewujudkan transformasi BPR di tengah ketidakpastian ekonomi global?

Pertama, perubahan nama BPR itu merupakan revitalisasi peran BPR sebagai salah satu pilar pendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Apalagi saat ini telah terbentuk merger 3 BUMN Ultra Mikro yakni PT Pegadaian, PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI sebagai induk usaha. Merger itu bertujuan untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan ultra mikro (UMi).

Apa itu pembiayaan UMi? Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 95/PMK/05/2018 menetapkan pembiayaan ultra mikro merupakan program tahap lanjut dari program bantuan sosial menjadi kemandirian usaha yang menyasar usaha mikro yang berada di lapisan terbawah yang belum dapat difasilitasi perbankan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Pembiayaan UMi maksimal Rp 10 juta per nasabah dan disalurkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank (LKBB). Oleh karena itu, sesungguhnya BRI tidak berhak untuk langsung menyalurkan pembiayaan UMi karena bukan LKBB.

Kedua, perubahan nama BPR itu sudah seharusnya diikuti pelbagai langkah untuk mengerek tingkat kesehatan. Langkah itu sejalan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 3/POJK.03/2022 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BPR dan BPRS yang berlaku efektif 4 Maret 2022.

Penilaian tingkat kesehatan meliputi penilaian profil risiko, tata kelola, rentabilitas dan permodalan. Aturan itu berlaku sejak Laporan Desember 2022 sebagai uji coba dan berlaku efektif sejak Laporan Desember 2023.

Ketiga, artinya, BPR harus meningkatkan penilaian profil risiko, tata kelola, rentabilitas dan permodalan. Terkait dengan penilaian faktor profil risiko, BPR wajib meningkatkan penerapan manajemen risiko yang meliputi risiko kredit, operasional, kepatuhan, likuiditas, reputasi dan strategis.

Tentang penilaian faktor tata kelola, BPR wajib melaporkan penerapan tata kelola paling sedikit kepada pemegang saham, OJK, Asosiasi BPR bagi BPR atau asosiasi BPRS bagi BPRS di Indonesia, dan 1 kantor media atau majalah ekonomi dan keuangan bagi BPR atau pemangku kepentingan melalui media internal yang dimiliki BPRS bagi BPRS.

Untuk penilaian faktor rentabilitas, BPR wajib meningkatkan kinerja rentabilitas dan tingkat efisiensi. Rentabilitas adalah kemampuan bank untuk menghasilkan laba dalam periode tertentu. Adapun, tingkat efisiensi bank tersurat pada rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dengan ambang batas 70-80%.

Tentang penilaian faktor permodalan, BPR wajib terus meningkatkan modal. Modal berfungsi untuk menyerap aneka risiko seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional dan risiko likuiditas. Lebih dari itu, modal juga berfungsi untuk mampu menggenjot daya saing.

Tatkala semua faktor penilaian profil risiko, tata kelola, rentabilitas dan permodalan dapat terus ditingkatkan, dengan demikian tingkat kesehatan BPR akan terangkat lebih tinggi lagi.

Keempat, ingat bahwa peningkatan modal itu seiring dan sejalan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR mewajibkan BPR untuk memiliki modal inti minimum. BPR dengan dengan modal inti kurang dari Rp 3 miliar wajib memenuhi modal inti minimum Rp 6 miliar paling lambat 31 Desember 2024.

Ringkas tutur, kini tinggal sekitar 1,5 tahun lagi untuk memenuhi kewajiban itu. Modal merupakan kunci utama untuk mampu memenangi persaingan perbankan terutama dalam segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Kelima, untuk mengerek modal dan sesuai dengan titah UU P2SK, BPR sejatinya dapat masuk bursa dengan menerbitkan saham perdana (initial public offering/IPO). Langkah baru nan strategis itu bukan hanya bertujuan untuk menambah modal tetapi juga untuk mengerek daya saing.

Mengapa? Lantaran ketika BPR telah go public, BPR akan lebih banyak diawasi oleh pemangku kepentingan (stakeholders). Pemangku kepentingan tersebut antara lain terdiri dari Bursa Efek Indonesia (BEI), OJK, Bank Indonesia (BI), DPR, pemerintah, pemegang saham pengendali, investor dan nasabah.

Keenam, dengan demikian, manajemen dan semua level pegawai wajib terus meningkatkan kompetensi terutama manajemen risiko. Bank harus transformatif dengan memiliki ekosistem perbankan digital sehingga mampu mengikuti perubahan makro dan lingkungan bisnis. Hal itu merupakan senjata taktis untuk mampu bersaing dengan trengginas.

Selain itu, BPR pun harus adaptif dengan menyediakan produk dan jasa perbankan berbasis digital. Hal itu bertujuan untuk menyambut dan memanjakan perubahan perilaku nasabah yang lebih suka bertransaksi daring.

Ketujuh, selama ini, BPR tidak diizinkan untuk berbisnis pembayaran. Namun, kini mulai banyak BPR telah menjalankan bisnis pembayaran asalkan menggandeng bank umum. Ringkas tutur, BPR menjadi kepanjangan tangan bank umum. Sungguh, inilah bisnis basah dewasa ini yang sudah sepatutnya digarap dalam waktu dekat ini.

Nah, ketika aneka faktor kunci keberhasilan itu telah terpenuhi, BPR akan lebih tangkas dalam melakukan transformasi sekaligus menghadapi tantangan pada 2023!

Opini ini tidak mencerminkan pendapat Bloomberg Technoz, PT Berita Mediatama atau Bloomberg LP dan pemiliknya.

(pau)

TAG