Sepertinya investor sedang mencerna rilis data ekonomi terbaru di Negeri Adikuasa. Malam tadi waktu Indonesia, US Bureau of Labor Statistics (BLS) mengumumkan data inflasi periode November.
Menariknya, inflasi inti secara tahunan (year-on-year/yoy) berada di 2,6% bulan lalu. Ini menjadi yang terendah sejak Maret 2021 atau lebih dari empat tahun terakhir.
Data ini seakan menggambarkan bahwa inflasi di Negeri Paman Sam sudah mulai jinak. Namun data inflasi kali ini harus diperlakukan agak berbeda.
Gara-gara shutdown pemerintahan di AS, BLS tidak bisa mengumpulkan data inflasi Oktober. Akibatnya, BLS kesulitan untuk menentukan perkembangan inflasi secara bulanan (month-to-month/mtm). Angka inflasi November secara keseluruhan pun sedikit banyak akan terpengaruh.
“Sepertinya kita harus menunggu sampai rilis data Desember untuk memastikan apakah ini hanya penurunan statistik atau benar-benar terjadi disinflasi,” tegas Paul Ashworth, Kepala Ekonom Capital Economics untuk Amerika Utara, seperti dikutip dari Bloomberg News.
Data yang agak samar-samar ini membuat investor sepertinya harus menunggu sedikit lebih lama untuk mendapat petunjuk soal arah kebijakan moneter Federal Reserve. Jika benar inflasi melambat, dan pasar tenaga kerja ‘mendingin’, maka The Fed diyakini bakal melanjutkan siklus pelonggaran moneter pada 2026.
Namun jika ternyata angka inflasi November sangat dipengaruhi oleh minimnya data gara-gara shutdown, maka keyakinan akan penurunan suku bunga acuan pada 2026 bisa tergerus.
Sembari mencerna data inflasi lebih dalam lagi, sepertinya investor memilih untuk menahan diri. Apalagi pekan depan sudah mulai musim liburan Hari Natal-Tahun Baru. Perkembangan ini membuat aktivitas di pasar menjadi kurang semarak, sehingga rupiah sulit terdongkrak.
(aji)




























