Logo Bloomberg Technoz

Sehingga, bagi pabrikan Indonesia yang ingin bermain di segmen EV murah dan mengejar volume, kolaborasi dengan China dan Vietnam tampak lebih rasional secara bisnis.

“Intinya, untuk keamanan perkembangan kemandirian industri EV di Indonesia, never put the eggs in one basket [jangan menaruhh telur dalam satu keranjang],” sebutnya.

Meski kemungkinan tersebut terbuka lebar, Yannes mengingatkan agar Indonesia tidak bergantung pada satu kerja sama negara saja dalam mengembangkan industry EV. Sebab, ketergantungan tunggal dinilai tidak bagus secara strategi bisnis.

Sementara untuk pabrikan Jepang, Yannes menuturkan Negara Sakura itu masih sangat kuat dari sisi kualitas, jaringan after-sales, dan teknologi hibrida. Hal ini menyebabkan Jepang menjaga struktur harga yang tidak murah lagi untuk kondisi ekonomi saat ini.

“Menurut saya, ke depannya akan muncul pola campuran, Indonesia–China dan Indonesia–Vietnam untuk LCEV, EV mass market berbiaya rendah, dan Indonesia–Jepang untuk segmen HEV dan EV menengah yang lebih berorientasi value dan reliability,” jelasnya.

Yannes menekankan bahwa Indonesia harus tegas dan tak boleh ada hanya satu negara yang mendominasi ekosistem industri otomotif dalam negeri dengan tetap mampu mengelola orkestrasi banyak mitra secara cerdas.

“Artinya Indonesia perlu membuka diri pada kolaborasi dengan China, Jepang, Vietnam, Korea, Eropa. Sekaligus menegaskan syarat wajib, alih teknologi nyata, peningkatan TKDN yang sesungguhnya secara bertahap, dan lahirnya brand serta kapabilitas rekayasa lokal yang kuat,” bebernya.

“Dengan begitu, dalam 10 sampai 15 tahun ke depan, peta kekuatan tidak lagi X yang punya teknologi, dan Indonesia hanya sebagai pasar. Tetapi bergeser menjadi Indonesia yang memimpin desain, integrasi, dan standar, sementara mitra global menjadi enabler dalam ekosistem EV kita sendiri,” pungkasnya.

(ell)

No more pages