Pasar mata uang di kawasan menyambut positif langkah The Fed menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps ke kisaran 3,5%-3,75%. Meski sudah diantisipasi pelaku pasar, keputusan ini tetap menjadi katalis kuat bagi sentimen risk-on yang mulai merebak kembali ke Asia, ini bisa jadi sinyal bahwa likuiditas global yang lebih longgar sudah di depan mata.
Penurunan suku bunga ini diambil lewat keputusan suara sembilan banding tiga di internal FOMC, memperlihatkan bahwa konsensus memang belum bulat. Namun, pasar menangkap pesan jika era kebijakan moneter superketat AS telah memasuki fase pelonggaran.
Dengan inflasi yang diproyeksikan turun ke 2,4% pada akhir 2026 dan pertumbuhan PDB yang diperkirakan lebih kuat sebesar 2,3% dari posisi sebelumnya di 1,8%, The Fed merasa cukup percaya diri bahwa ruang untuk menggeser kebijakan ke arah yang cenderung akomodatif sudah tersedia.
Momentum ini juga diperkuat oleh kondisi domestik Indonesia yang dalam beberapa hal bisa dianggap kondusif. Di antaranya, likuiditas perbankan yang terjaga, inflasi yang tetap terkendali, dan ekspektasi stabilitas kebijakan moneter membuat pasar punya sedikit keyakinan bahwa rupiah mungkin memiliki ruang sehat untuk diapresiasikan tanpa tekanan fundamental yang berlebihan. Investor asing mungkin akan kembali masuk ke pasar obligasi dan saham, meskipun masih terbatas.
Meski demikian, jalan penguatan rupiah juga mungkin tidak sepenuhnya mulus. Pelaku pasar masih mewaspadai arah kebijakan The Fed, pergerakan yield US Treasury, dan perkembangan ekonomi AS yang menjadi pemicu volatilitas mendadak.
(riset/aji)




























