Logo Bloomberg Technoz

Salah satu permasalahannya, kata BPK, yakni adanya indikasi pemahalan harga sebesar Rp1,91 triliun atas pelaksanaan pengadaan bahan baku nitrogen, fosfor, dan kalium (NPK) dan pengadaan batuan fosfat (phosphate rock) dan kalium klorida (KCL).

Hasil pemeriksaan memperlihatkan ada ketidaksesuaian prosedur pengadaan bahan baku dengan pedoman umum pengadaan barang dan jasa perusahaan.

Selain itu, lanjut BPK, terdapat ketidakpatuhan terhadap pedoman umum pengadaan barang dan jasa. Antara lain pengadaan tender terbatas tak diumumkan secara terbuka dan pelaksanaan pengadaan bahan baku yang tidak sepenuhnya menggunakan aplikasi pengadaan barang dan jasa secara daring (e-procurement).

“Hal tersebut mengakibatkan tidak diperolehnya harga bahan baku yang kompetitif, dan indikasi pemahalan harga phosphate rock dan KCL impor sebesar Rp1,91 triliun,” kata BPK.

Permasalahan lainnya, tutur mereka, mekanisme pelaksanaan penjualan urea dan amonia secara ekspor tak memenuhi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG), transparan, dan akuntabel.

Hasil pemeriksaan menunjukkan Pupuk Indonesia belum memiliki prosedur penetapan harga jual yang memadai, tak mempunyai sistem informasi untuk melakukan penjualan ekspor, dan metode penjualan lebih mengutamakan penjualan spot dibanding pelaksanaan tender (beauty contest) serta perumusan harga jual tidak sepenuhnya mengacu pada harga pasar internasional.

“Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kecurangan pada pelaksanaan pemasaran dan penjualan,” ujar BPK.

Di samping itu, mereka menilai dari studi kelayakan (feasibility study/FS) investasi di proyek Kawasan Industri Pupuk (KIP) Fakfak—proyek PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim), anak usaha PI—tak mencakup pengujian kelayakan lahan.

Hal ini berpotensi kelebihan anggaran (over budget) minimal sebesar Rp2,96 triliun dan terjadinya biaya hangus (sunk cost) atas pengeluaran proyek sebesar Rp250,92 miliar.

“Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perencanaan proyek KIP Fakfak tidak mempertimbangkan permasalahan pembebasan tanah dan mitigasinya serta kondisi tanah yang berongga-rongga, nilai internal rate of return (IRR/tingkat pengembalian investasi internal) proyek KIP Fakfak berpotensi di bawah nilai minimal kelayakan investasi nilai IRR menjadi 9,63% atau di bawah kelayakan IRR, dan adanya potensi sunk cost atas pengeluaran biaya pelaksanaan pekerjaan yang telah dikeluarkan apabila proyek dilanjutkan.” sebut BPK. 

“Hal tersebut mengakibatkan potensi kenaikan biaya investasi atas kondisi rongga minimal sebesar Rp2,96 triliun dan potensi pemborosan atas sunk cost realisasi biaya investasi pengembangan KIP Fakfak sebesar Rp250,92 miliar, serta pengembalian atas investasi proyek menjadi lebih lama daripada yang tertuang dalam feasibility study,” jelas BPK.

(ell)

No more pages