Kemudian dia menyebut jumlah korban kekerasan fisik di satuan pendidikan mencapai 73 jiwa dan terdapat 8 orang yang meninggal dunia pada rentang usia 8-17 tahun. Bahkan ada 5 korban jiwa dari total 8 orang itu masih usia sekolah dasar (SD), 2 orang usia sekolah menengah pertama (SMP), dan 1 usia 17 tahun yang merupakan siswa sekolah menengah kejuruan (SMK).
“Adapun kasus kekerasan seksual menempati urutan kedua dari total kasus yaitu mencapai 17 kasus atau sekitar 28% dengan jumlah pelaku 17 orang dan korban mencapai 127 orang,” kata Fahriza.
Lanjut dia, dari 17 pelaku, terdapat 1 oknum guru perempuan sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap siswanya yang berusia 16 tahun. Kekerasan seksual ini tak hanya terjadi pada sekolah berasrama, tetapi juga di sekolah-sekolah umum yang tidak berasrama.
“Sedangkan kekerasan psikis berada diurutan ketiga setelah kekeras fisik dan seksual, yaitu sebanyak 8 kasus, di mana korban 37,5% korban kekerasan psikis sampai memutuskan bunuh diri yaitu sebanyak 3 orang,” ujar Fahriza.
Dia menerangkan, keputusan seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri atau bunuh diri umumnya karena mengalami stres berkepanjangan yang tak tertangani, sehingga korban memasuki fase depresi. Lalu, kasus bully atau perundungan ada 4 kasus.
“Korban bully yang tidak tertangani kemudian melakukan tindakan balas dendam kepada para pelaku dengan membakar pondok pesantren di Aceh Besar. Bahkan kasus peledakan Bom di salah satu SMAN (SMA negeri) di Jakarta Utara diduga kuat juga merupakan korban bully yang kemudian melakukan tindakan pembalasan dendam. Peledakan bom tersebut, setidaknya melukai 96 korban,” jelas Fahriza.
Lebih lanjut dia, terkait kasus diskriminasi dan intoleransi sepanjang tahun ini hanya ada 1 kasus. Untuk kebijakan yang mengandung kekerasan terdapat sekitar 3 kasus dengan korban mencapai 55 anak,
“Hal ini termasuk kasus salah satu ponpes (pondok pesantren) di Sidoarjo yang ambruk musholanya yang sedang dibangun dan menewaskan 53 santri. Kebijakan ponpes yang tetap mempergunakan mushola untuk ibadah para santri padahal bangunan sedang dalam proses pembangunan, sehingga sangat beresiko tinggi ambruk dan membahayakan para santrinya,” kata Fahriza.
Dia juga menyebut dari 60 kasus kekerasan di satuan pendidikan sepanjang 2025 terjadi di seluruh jenjang pendidikan dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga SMA/SMK. Rinciannya, kasus tertinggi terjadi di jenjang SD yaitu sebanyak 18 kasus (30%); kedua terbanyak di jenjang SMP yaitu 17 kasus (28,33%); ketiga terbanyak di ponpes yakni 8 kasus (13,33%), jenjang madrasah tsanawiyah atau MTs ada 3 kasus (5%); jenjang SMA sebanyak 6 kasus (10%), jenjang SMK ada 5 kasus (8,33); dan jenjang PAUD sebanyak 3 kasus (5%).
“Adapun pelaku-pelaku kekerasan sangat beragam, tidak hanya pendidik dan peserta didik tapi juga tenaga kependidikan (tendik), pejabat struktural, bahkan alumni,” kata Fahriza.
(ain)


































