JPPI menemukan banyak sekolah terendam lumpur, mengalami kerusakan struktural, roboh, hingga hanyut terbawa arus banjir. Pembersihan ruang kelas dan lingkungan sekolah sebagian besar masih dilakukan manual oleh guru, warga, dan relawan atas dasar keinginan.
“Sudah satu pekan, tapi pembersihan sekolah masih banyak yang dilakukan manual karena belum ada dukungan logistik memadai,” kata dia.
Terhadap bantuan pusat sebesar Rp13,3 miliar dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, JPPI menilai nominalnya sangat kecil dibanding tingkat kerusakan yang masif di tiga provinsi.
Ubaid menilai, bila dibagi untuk puluhan kabupaten/kota, anggaran tersebut lebih bersifat simbolik ketimbang solutif. “Biaya rehabilitasi satu sekolah rusak sedang-berat bisa miliaran. Rp13,3 miliar untuk tiga provinsi jauh dari cukup,” kritik dia.
Di sisi lain, ruang belajar darurat juga masih sangat terbatas, tidak merata, dan belum menjangkau semua titik terdampak. Banyak sekolah masih libur total tanpa pembelajaran alternatif.
JPPI khawatir jika tidak ada percepatan, akan terjadi learning loss besar serta trauma berkepanjangan pada anak. “Semakin lama anak tidak kembali belajar, semakin besar dampak psikologis dan ketertinggalan akademiknya,” ungkap dia.
Ancaman putus sekolah turut mengintai. Kerusakan ekonomi keluarga memicu potensi anak berhenti sekolah karena biaya, serta waktu pemulihan sekolah yang tidak jelas. Sampai saat ini, JPPI mencatat belum ada skema perlindungan sosial spesifik untuk mencegah putus sekolah akibat bencana.
“Jika tidak ada intervensi cepat, kita bisa menghadapi generasi hilang—bukan hanya karena banjir, tapi karena kelambanan negara,” tegas dia.
JPPI mendesak Presiden menetapkan status bencana nasional dan Mendikdasmen mengeluarkan SK Darurat Pendidikan untuk membuka akses Dana Kontinjensi dan mobilisasi SDM terkoordinasi.
Mereka juga menuntut penghitungan ulang kebutuhan anggaran, serta percepatan penyediaan sekolah darurat dengan fasilitas dasar seperti listrik, sanitasi, air bersih, dan ruang aman anak. “Pendidikan adalah hak dasar yang tidak boleh terhenti, bahkan dalam situasi bencana,” pungkas Ubaid.
(dec/spt)






























