Logo Bloomberg Technoz

Salah satu alasan di balik penguatan rupiah setiap Desember dipengaruhi oleh pola realisasi belanja pemerintah. Secara historis, penyerapan anggaran cenderung besar pada akhir tahun menjadi salah satu penyebab banjirnya likuiditas.

Mengacu pada data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi belanja pemerintah pusat baru mencapai Rp1.879,6 triliun atau 70,6% dari outlook 2025. Dengan begitu, pemerintah harus menggeber sisa uang belanja senilai Rp783,8 triliun dalam dua bulan terakhir 2025.

Sejumlah kalangan meragukan target pemerintah untuk mengejar penyerapan belanja negara dalam dua bulan terakhir. Namun yang pasti, lonjakan belanja yang signifikan dapat mendorong peningkatan likuiditas.

Selain longgarnya likuiditas, indikator ekonomi yang positif juga mendukung penguatan rupiah. Misalnya saja dari sisi perdagangan dan komoditas selalu mencatatkan surplus.

Awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa neraca dagang Indonesia tercatat mengalami surplus.

“Neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 66 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Surplus sepanjang Januari-Oktober 2025 ditopang oleh surplus komoditas non-migas sebesar US$51,51 miliar, sementara komoditas migas masih mengalami defisit US$15,63 miliar”, kata Pudji Ismartini, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, di Jakarta, Senin (1/12/2025).

Surplus transaksi perdagangan ini memperkuat posisi cadangan devisa dan menopang rupiah. Melansir data Bloomberg, cadangan devisa Indonesia pada Oktober 2025 mengalami kenaikan US$1,2 miliar sehingga secara total nilainya sebesar US$149,93 miliar.

Kenaikan cadangan devisa ini juga mendorong peningkatan Net Foreign Assets (NFA) Bank Indonesia (BI) ke Rp2.130,69 triliun. Alhasil, BI jadi punya keleluasaan untuk memperkuat ruang kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

Namun, dengan beberapa kali intervensi gejolak kurs rupiah, posisi cadangan devisa Oktober ini hanya mampu membiayai 6,2 bulan impor atau pembayaran utang luar negeri. Meski begitu, BI menganggap posisi cadangan devisa ini masih aman dan ada di atas standar kecukupkan internasional yang mematok untuk 3 bulan impor.

Arus Modal Masuk

Menjelang tutup tahun juga menjadi waktu bagi investor global menata ulang portofolio investasinya, alias window dressing. Apalagi, beberapa waktu belakangan pemerintah menawarkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang cukup atraktif daripada US Treasury (UST).

Selama 10 tahun ke belakang, imbal hasil (yield) SBN bertenor 10 tahun konsisten di angka 6%, padahal UST bertenor 10 tahun hanya menawarkan yield 1,5% sampai 3% saja. Di tengah sentimen strategi dovish bank sentral AS yang merencanakan penurunan suku bunga, menempatkan portofolio investasi dalam emerging market menjadi menarik.

Tak heran jika Desember selalu mencatatkan net buy asing di pasar SBN. Aksi beli di pasar Surat Utang Negara (SUN) pada Rabu (3/12/2025) mengalami kenaikan.

Di tenor 5 tahun terjadi penurunan yield sebesar 10,2 basis poin (bps) menjadi 5,66%, diikuti yield tenor 2 tahun turun 5,8 bps menjadi 5,06%, dan yield tenor 10 tahun turun 4 bps menjadi 6,26%.

Anomali 2017, 2018, dan 2024

Terlepas dari pola penguatan akhir tahun, pada 2017, 2018 dan 2024 rupiah mengalami pelemahan. Apa penyebabnya?

Tentu, kondisi domestik yang relatif stabil tak selalu bisa jadi jaring pengaman nilai tukar rupiah. Kondisi geopolitik dan pengaruh dolar AS menjadi penggerak utama nilai tukar mata uang emerging market, termasuk rupiah.

Pada 2017, indeks dolar menguat lantaran The Fed melakukan pengetatan struktural dengan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali. Pada Juni, September, dan Desember 2017, The Fed menaikkan suku bunga masing-masing sebanyak 25 bps. Naiknya suku bunga The Fed lantaran membaiknya kondisi perekonomian AS dan pasar tenaga kerja mereka.

Lalu, 2018 menjadi tahun yang paling gelap bagi pasar negara berkembang. Sedianya, The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali. Tapi kenyataannya bank sentral AS itu menaikkan suku bunga sebanyak empat kali sehingga yield UST yang tembus 3,2%. Saat itu, bukan hanya pasar Indonesia yang ambruk tapi juga pasar Asia.

Di sisi lain, krisis ekonomi yang terjadi di Turki dan Argentina memicu gelombang ‘jual panik’ di pasar emerging market. Rupiah pun ambruk ke level Rp15.200/US$.

Kemudian, tahun lalu rupiah kembali menghadapi tekanan eksternal dan internal. Dari internal rasio likuiditas di pasar domestik cenderung ketat.

Semenara dari eksternal, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS menambah ketidakpastian global global terutama terkait penerapan tarif. Kekhawatiran pasar terhadap arah kebijakan Trump justru memperkuat kurs dolar AS. Alhasil, tutup tahun 2024, rupiah masuk ke era Rp16.000-an per US$.

Lalu, bagaimana arah rupiah akhir 2025?

Penguatan rupiah pada Desember terlihat bukan anomali acak, tapi jadi gambaran dari tiga kekuatan domestik yang ditopang oleh sentimen global: kondisi likuiditas yang longgar, masuknya investasi asing dengan membeli portofolio di Indonesia, serta surplus perdagangan yang relatif stabil.

Jika melihat tiga faktor itu, agaknya boleh sedikit berharap tahun ini rupiah melanjutkan ‘ritual’ pola penguatan akhir tahun, sama seperti kebanyakan Desember dalam 10 tahun ke belakang.

Akan tetapi, optimisme ini harus dibingkai dengan kewaspadaan: pasar keuangan Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh pergerakan dana asing, dan selera risiko global dapat berubah hanya dalam hitungan hari.

Bagi negara yang perekonomiannya bertumpu pada arus modal portofolio, daya tarik relatif terhadap negara pesaing menjadi faktor penentu.

(dsp/aji)

No more pages