Lebih jauh, Iqbal menjelaskan RPP baru itu mengulang kembali konsep lama tentang penggunaan “konsumsi rata-rata buruh” yang telah disurvei oleh badan pusat statistik (BPS) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023, aturan yang sejak awal ditolak buruh.
Menurutnya, konsep konsumsi rata-rata ini akan membuat berbagai daerah industri besar seperti Bekasi, Bogor, Karawang, Purwakarta, Tangerang Raya, Cilegon, Serang, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Semarang, Medan, Batam, dan lainnya tidak mengalami kenaikan upah sama sekali.
“Ini mengembalikan konsep PP 51 yang membuat kenaikan upah itu nol. Nol persen,” ujarnya. Dampaknya, pusat-pusat industri yang menjadi motor ekonomi justru akan mengalami stagnasi upah.
Tolak Kenaikan 4,3%
Selain persoalan konsumsi rata-rata, KSPI juga menolak penggunaan formula alpha dengan rentang 0,3 hingga 0,8 sebagai penentu kenaikan UMP. RPP tersebut menetapkan UMP akan naik berdasarkan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi yang dikalikan dengan alpha. Jika alpha 0,3 yang dipakai—seperti rancangan pemerintah—maka kenaikan UMP 2026 hanya sekitar 4,3%
Bagi KSPI, angka ini tidak masuk akal dan sangat merugikan buruh. Dengan rata-rata upah minimum nasional sekitar Rp3.090.000, kenaikan 4,3% hanya menambah kurang lebih Rp120.000 per bulan, atau kurang dari US$12.
“Di Jenewa, harga satu kebab 19 USD. Kenaikan upah minimum Indonesia hanya 120 ribu—di bawah 12 USD. Kenaikan upah satu bulan tidak setara harga satu kebab satu kali makan. Keterlaluan,” tuturnya.
Iqbal juga menekankan bahwa tanpa kesepakatan dengan serikat buruh, pemerintah seharusnya tidak menetapkan RPP ini. Jika tetap berkeinginan menetapkan aturan pengupahan, cukup melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja seperti tahun sebelumnya, di mana nilai alpha pun harus disepakati terlebih dahulu. Dengan tidak adanya kesepakatan tersebut, maka RPP tidak bisa diberlakukan.
Sebagai solusi, KSPI dan Partai Buruh mengusulkan empat alternatif kebijakan upah minimum 2026. Alternatif pertama adalah menetapkan kenaikan upah minimum secara tunggal sebesar 6,5%, sebagaimana ditetapkan Presiden Prabowo tahun lalu. Menurut Iqbal, angka makro ekonomi antara tahun lalu dan tahun ini tidak jauh berbeda, sehingga angka tersebut konsisten dan dapat dipertahankan.
Alternatif kedua adalah menetapkan kenaikan dengan rentang 6%-7%, yang dinilai masih mempertimbangkan keberatan pengusaha. Alternatif ketiga menggunakan rentang yang lebih sempit, yakni 6,5% hingga 6,8%, mengikuti arah pemikiran Prabowo yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga daya beli.
Sementara itu, alternatif keempat diterapkan apabila pemerintah tetap ingin menggunakan formula alpha; dalam hal ini KSPI menegaskan bahwa nilai alpha yang wajar adalah antara 0,7 hingga 0,9, bukan 0,3 hingga 0,8 seperti rancangan pemerintah.
Demo
Lebih jauh dia menyebut KSPI, Partai Buruh, dan 72 organisasi dalam Koalisi Serikat Pekerja menyatakan siap melakukan aksi besar jika pemerintah tetap memaksakan RPP pengupahan dan menetapkan kenaikan upah sebesar 4,3% pada 8 Desember 2025.
Aksi nantinya akan dimulai sehari sebelumnya, pada 7 Desember dan berlanjut setelah pengumuman. Iqbal menyebut seluruh aksi akan berlangsung damai dan tertib, tetapi dilakukan secara meluas di seluruh Indonesia.
Bahkan buruh mengancam akan mogok nasional dengan melibatkan 5 juta buruh bila pemerintah tetap bersikeras dengan aturan tersebut.
“Bila perlu mogok nasional 5 juta buruh stop produksi,” ujarnya.
(ell)






























