Surat bertarikh 5 November 2025 itu diteken Ketua Umum API Julfi Hadi sebagai tanggapan atas Surat Direktur Jenderal Nomor 2981.Und/EK.01/DJE.S/2025 tanggal 3 November 2025 perihal Undangan Konsultasi Publik revisi Perpres 112 Tahun 2022.
Lewat surat kepada Eniya yang dilihat Bloomberg Technoz, API meminta pemerintah untuk meninjau ulang skema harga pembelian listrik panas bumi yang menggunakan bentuk harga patokan tertinggi atau HPT.
“Kita usulkan perubahan dari harga patokan tertinggi menjadi feed-in-tariff,” kata Sekretaris Jenderal API Riza Pasikki saat dikonfirmasi, Selasa (2/12/2025).
Menurut API, skema HPT didasarkan pada asumsi pengembang dapat mengakses seluruh bentuk dukungan pemerintah seperti program government drilling, soft loan, dan pembiayaan eksplorasi lain seperti Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi (PISP) dan Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM).
“Namun dalam praktiknya, akses terhadap fasilitas-fasilitas tersebut masih sangat terbatas, ditambah dengan persyaratan yang dinilai terlalu ketat oleh pelaku usaha,” dikutip dari surat API tersebut.
Berdasarkan data aktual dari masing-masing pengembang panas bumi, simulasi harga pembelian listrik dari proyek geothermal yang telah beroperasi dengan hurdle rate 10% memberikan nilai proyek net present value (NPV) dengan rentang negatif US$44,6 juta sampai negatif US$187,89 juta.
Adapun, IRR yang didapat berada pada rentang minus 5,16% sampai 5,47%. Menurut API, simulasi itu menunjukkan HPT dalam Perpres 112/2022 belum mencerminkan keekonomian proyek.
Di sisi lain, API mengusulkan, penyesuaian harga pembelian tenaga listrik dengan skema feed-in-tariff untuk kapasitas sampai dengan 10 megawatt (MW) sebesar US$23,85 sen per kWh.
Selanjutnya, tarif listrik untuk kapasitas >10MW sampai dengan 50 MW sebesar US$13,78 sen per kWh, >50 MW sampai dengan 100 MW sebesar US$13,32 sen per kWh dan > 100 MW sebesar US$10,7 sen per kWh.
Parameter harga itu berangkat dari asumsi harga dasar bersifat fixed price dengan eskalasi sebesar 0,56% per tahun selama masa kontrak jual beli listrik atau jual beli uap berlangsung.
Proyek IRR sebesar 12% dengan optimasi capex untuk kapasitas 50 MW sampai dengan 100 MW sebesar US$5,29 juta per MW. Di sisis lain, ada bantuan fiskal berupa tax holiday, pengurangan biaya impor, pengurangan PPN dan pengurangan PBB tubuh bumi dan permukaan.
Selain itu, API turut menyodorkan tarif listrik lain dengan asumsi IRR 12% yang mengaplikasikan attractive financing dengan bunga 5,6%, tenor 10 tahun serta grace period 5 tahun.
Tarif yang didapat menjadi US$21,46 sen per kWh untuk pembangkit kapasitas 10 MW.
Sementara itu, pembangkit dengan kapasitas >10 MW sampai dengan 50 MW sebesar US$12,36 sen per kWh, kapasitas >50 MW sampai dengan 100 MW sebesar US$11,40 sen per kWh dan >100 MW sebesar US$9,18 sen per kWh.
Adapun, dua skema usulan tarif baru yang disampaikan API itu lebih tinggi dari HPT yang ditetapkan dalam Perpres 112 Tahun 2022. Skema HPT menjadi plafon atau batas tertinggi tarif yang menjadi ruang negosiasi antara pengembang dengan PLN.
Mengutip perhitungan dalam Perpres 112 Tahun 2022, harga pembelian listrik panas bumi dengan kapasitas 10 MW dipatok sebesar US$9,76 sen per kWh dikali faktor lokasi panas bumi untuk 10 tahun pertama.
Sementara itu, kapasitas >10 MW sampai dengan 50 MW dipatok sebesar US$9,41 sen per kWh dikali faktor lokasi, kapasitas >50 MW sampai dengan 100 MW sebesar US$8,64 sen per kWh dikali faktor lokasi dan kapasitas lebih dari 100 MW sebesar US$7,65 sen per kWh dikali faktor lokasi.
Adapun, faktor lokasi menjadi faktor pengali yang dipakai pemerintah dengan rentang 1 sampai dengan 1,5 berdasarkan letak pembangkit EBT itu dibangun.
Sementara itu, tarif panas bumi untuk tahun ke-11 sampai dengan tahun ke-30 berada di rentang US$8,3 sen per kWh sampai dengan US$6,50 sen per kWh.
(naw)
































