Logo Bloomberg Technoz

Kedua, sistem pengadaan melalui katalog digital seperti e‑Katalog dinilai belum optimal. Audrey menyoroti pola tender yang selalu dimenangkan penawar harga terendah, tetapi tidak menjamin terjadinya pembelian. 

“Pemenang tender belum tentu dibeli, sementara produsen non-pemenang tetap boleh menjual, dibeli rumah sakit, asal harga sama atau lebih murah,” katanya, menunjukkan ironi pengadaan yang tidak otomatis linier dengan utilisasi.

Faktor ketiga adalah sistem pembayaran distributor yang kerap terlambat. “Beberapa distributor bahkan dipanggil rumah sakit besar yang mengaku tidak bisa membayar pembelian obat,” ungkap Audrey. 

Menurutnya, “pembayaran yang tidak tepat waktu otomatis mengganggu suplai ke fasilitas kesehatan,” sehingga rantai pasok obat tersendat sejak distributor.

Keempat, ketiadaan data real time untuk memetakan kebutuhan obat maupun beban penyakit masyarakat. “Data real time diperlukan bukan hanya untuk RKO, tetapi juga untuk menganalisis pola penyakit dan kebutuhan volume per wilayah,” tegasnya. 

Tanpa data dinamis, keputusan pengadaan sering tidak reflektif terhadap kondisi epidemiologis daerah.

Kelima, regulasi mutu pembuatan obat yang makin tinggi berdampak pada kenaikan biaya produksi. Audrey menyebut tuntutan standar seperti cara pembuatan obat yang baik (CPOB) mendorong lebih banyak inspeksi dan pemeriksaan, yang akhirnya memicu kenaikan cost di tingkat manufaktur. Hal ini, menurut IAI, menekan industri domestik sekaligus berimbas pada kenaikan harga jual.

Alasan keenam dan ketujuh sama-sama menyinggung kebijakan komponen lokal. IAI menyoroti penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan rendahnya volume produksi lokal sebagai penyebab obat makin mahal. “Kualitasnya baik, tapi volumenya tidak masuk sehingga harga kurang bersaing dibanding negara lain seperti China atau India,” kata Audrey. 

Ia menambahkan, “Aturan UU menuntut TKDN tinggi harus dipakai, tapi rumah sakit mencari yang termurah agar tak merugikan negara, akhirnya industri dalam negeri tidak bersaing,” tuturnya menutup pemaparan.

Panja JKN bersama Komisi IX berencana menindaklanjuti temuan ini dengan mendorong sinkronisasi data, evaluasi pengadaan, serta perbaikan tata kelola pembayaran agar kekosongan obat dan disparitas harga tidak lagi menjadi siklus tahunan. Mereka menilai akar masalahnya sistemik, bukan fragmentasi faktor tunggal, dan harus dibenahi dari hulu hingga hilir.

(dec)

No more pages