Selain itu, kesiapan regulasi, cukai, dan infrastruktur perlu diselaraskan agar program bioetanol dapat berjalan efektif.
Terlebih, menurutnya, saat ini, terdapat empat pabrik di Pulau Jawa dengan kapasitas produksi total mencapai sekitar 50.500 kiloliter (kl) yang siap mendukung implementasi program E10 jika kebijakan mandatori telah diterbitkan.
Adapun, empat pabrik tersebut yakni; PT Energi Agro Nusantara, ya, PT Molindo Raya Industrial, PT Acidatama Tbk., dan PT Madubaru.
"Jadi kalau ada utilisasi, ada keekonomisan, menciptakan untung, pasti akan menggelinding secara natural dan akan maksimal ke depannya dan kita harus sambut positif program ini," jelasnya.
Izmirta menerangakan setidaknya dibutuhkan sejumlah pabrik baru itu dibutuhkan untuk mengolah setidaknya 4 juta ton tetes tebu untuk memasok kebutuhan bioetanol E10 sebesar 1,2 juta kl.
Kapasitas produksi pabrik pengolahan tetes tebu atau molase menjadi bioetanol saat ini sebesar 303.000 kiloliter (kl), sebagaimana data Apsendo.
Hanya saja, utilitas pabrik sepanjang 2024 baru mencapai 172.000 kl. Adapun, sebagian besar etanol itu disalurkan untuk kebutuhan industri kosmetik, farmasi dan pangan di dalam negeri.
“Jadi saya menyerap 660.000 ton tetes nasional dari 1,6 juta ton tetes Indonesia. Itu diserap oleh industri etanol Indonesia,” tuturnya.
Selain itu, Izmirta menilai pemerintah mesti memperluas lahan tebu yang ada agar mampu memproduksi molase untuk memasok kebutuhan E10 pada 2027.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menargetkan mandatori E10 dapat berlaku pada 2027.
Menurut Bahlil, mandatori E10 mesti dipercepat agar Indonesia bisa segera lepas dari ketergantungan impor bensin. Saat ini, lanjutnya, pemerintah tengah mempersiapkan lini waktu yang memungkinkan untuk implementasi mandatori bioetanol 10% tersebut.
“Sekarang lagi dilakukan kajian; apakah mandatori ini dilakukan 2027 atau 2028 atau tahun berapa. Menurut saya, [hal] yang kita lagi desain, kelihatannya paling lama 2027 ini sudah bisa berjalan, karena E10 adalah bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi impor bensin,” tutur Bahlil ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (20/10/2025) malam.
Terlebih, menurut Bahlil, selama ini Indonesia mengimpor 27 juta kl bensin per tahun.
Bagaimanapun, Bahlil tidak menampik Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah sebelum mandatori bioetanol E10 siap diberlakukan. Salah satu yang terbesar adalah menyiapkan fasilitas produksinya.
Bahlil menginginkan agar fabrikasi E10 sepenuhnya dilakukan di dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia masih membutuhkan investasi pabrik yang bisa mengolah singkong dan tebu menjadi etanol untuk bahan baku bioetanol.
(prc/wdh)

































