Dengan demikian, sekitar 440.000 ton molase belum dimanfaatkan. Menurut Soemitro, posisi pasokan molase itu dapat disalurkan untuk menopang program bauran bensin dengan 10% bioetanol atau E10.
Dia menerangkan produksi molase yang belum terserap itu dapat dimanfaatkan untuk membuat sekitar 110.000 kiloliter bioetanol, dengan asumsi 4 kilogram molase menghasilkan sekitar 1 liter bioetanol.
Di sisi lain, Soemitro mempertanyakan, pasokan bioetanol PT Pertamina (Persero) untuk menjalankan program bauran bensin dengan 5% bioetanol atau E5.
Dia menuturkan bioetanol yang dibuat dari tebu relatif sulit untuk dijual ke perusahaan pelat merah tersebut.
Dia berharap pemerintah dapat menginstruksikan Pertamina menjadi pihak penyerap dari bioetanol yang diproduksi produsen dalam negeri.
“Pertamina ini selain mendapatkan tugas untuk mandatori E5, dia harusnya juga diinstruksikan oleh Presiden, gunakanlah etanol lokal. Jadi kalau itu, kan urusan dalam negeri etanol kita, molase kita bisa terserap,” tuturnya.
Kapasitas Pabrik Bioetanol
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Spiritus dan Etanol Indonesia (Apsendo) mengatakan kapasitas produksi pabrik pengolahan tetes tebu atau molase menjadi bioetanol sebesar 303.000 kiloliter (kl).
Hanya saja, utilitas pabrik sepanjang 2024 baru mencapai 172.000 kl. Adapun, sebagian besar etanol itu disalurkan untuk kebutuhan industri kosmetik, farmasi dan pangan di dalam negeri.
Ketua Umum Apsendo Izmirta Rachman menuturkan terdapat 4-5 pabrik bioetanol yang aktif saat ini dari total 13 pabrik terpasang. Dia menambahkan masing-masing pabrik memiliki kapasitas produksi sekitar 100 kl per hari.
Kendati demikian, dia menerangkan, seluruh produksi pabrik bioetanol itu belum secara khusus disalurkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) domestik.
Menurut dia, kapasitas pabrik terpasang saat ini telah mampu untuk memenuhi kebutuhan program mandatori bensin dengan bioetanol 10% atau E10.
“Itu semua 99% saya produksi untuk kepentingan domestik non-energy,” kata Izmirta ketika dihubungi, Senin (27/10/2025).
Di sisi lain, dia memperkirakan, kebutuhan bahan baku mencapai 4 juta ton molase untuk memproduksi sekitar 1 juta kl bioetanol.
“Nah misalnya targetnya 1 juta liter etanol, berarti kan dibutuhkan 4 juta ton tetes. Berarti 4 juta ton tetes itu harus diolah oleh berapa pabrik? Minimal mungkin kalau pabriknya 120 ribu ton tetes, itu butuh 10 pabrik,” tegas dia.
Dia menilai positif program mandatori E10 yang belakangan didorong pemerintah. Dia mengatakan asosiasinya siap mendukung ketersediaan pasokan bahan baku untuk menopang bauran bensin tersebut.
“Kalau kita mau bangun pabrik bisa, tinggal kata kuncinya, pastikan pabrik yang dibangun dibeli dan di-offtake oleh badan usaha bahan bakar minyak,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menargetkan program mandatori bensin dengan bioetanol 10% itu bisa diesekusi pada 2027.
Bahlil menerangkan pemerintah memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk menanam sejumlah tanaman penghsil bahan baku bioetanol tersebut.
Sejumlah tanaman potensial yang dijajaki pemerintah untuk menopang program mandatori bensin dengan campuran bioetanol 10% itu di antaranya tebu, jagung hingga singkong.
“Paling lama satu setengah tahun atau dua tahun,” kata Bahlil kepada awak media di Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Menurut hitung-hitungan Kementerian ESDM, kebutuhan bioetanol untuk menjalankan program mandatori E10 itu sekitar 1,2 juta kiloliter.
Di sisi lain, dia menambahkan, pemerintah bakal memberikan insentif untuk mendorong pengembangan industri bioetanol di dalam negeri.
(azr/naw)































