Bagaimanapun, Hadi menilai pemerintah lebih baik mengalihkan pendanaan proyek tersebut untuk membangun tangki atau storage penyimpanan bahan bakar minyak (BBM) yang tersebar di wilayah dengan permintaan tinggi, alih-alih membangun kilang baru tersebut.
Menurut Hadi, pembangunan tangki penyimpanan BBM akan lebih bermanfaat menyokong ketahanan energi nasional dan selaras dengan tren global yang mulai mengurangi penggunaan energi fosil.
Hadi mengkalkulasi, untuk membangun 5 storage tank BBM dengan kapasitas 2 juta barel maka pemerintah hanya butuh US$2,5 miliar atau sekitar 10% dari belanja modal capital expenditure (capex) yang dibutuhkan untuk membangun Kilang Tuban sebesar US$24 miliar.
“Dengan kondisi-kondisi di atas, akan lebih bijaksana jika budget untuk membangun Kilang lebih baik dipakai membangun storage BBM, selebihnya budget tersebut bisa dipakai untuk membangun infrastruktur gas dalam rangka mendukung program konversi BBM/LPG,” ungkap Hadi.
Sebagai informasi, pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi mengumumkan sanksi terhadap produsen minyak Rusia, PJSC Rosneft Oil Company dan Lukoil PJSC.
Sebagaimana diwartakan Bloomberg News, AS meluncurkan paket sanksi keuangan besar pertamanya terhadap perekonomian Presiden Vladimir Putin, sebagai bagian dari upaya baru untuk mengakhiri perang di Ukraina.
Departemen Keuangan AS memasukkan perusahaan minyak raksasa milik negara itu, dan Lukoil PJSC, ke dalam daftar hitam karena "kurangnya komitmen serius Rusia terhadap proses perdamaian untuk mengakhiri perang di Ukraina," menurut sebuah pernyataan pada Rabu (22/10/2025) waktu setempat.
Transaksi yang melibatkan kedua perusahaan tersebut harus dihentikan paling lambat 21 November, menurut Pemerintah AS.
Negara yang mengimpor migas Rusia berpotensi terpapar sanksi yang mencakup pemutusan akses ke dolar dari sistem perbankan Barat, atau dibekukan oleh produsen, pedagang, pengirim, dan perusahaan asuransi Barat yang menjadi tulang punggung pasar komoditas global.
Di sisi lain, Inggris menjatuhkan sanksi kepada Rosneft dan Lukoil sepekan yang lalu, yang telah meningkatkan tekanan pada pembeli seperti kilang-kilang minyak India. Uni Eropa juga akan mengumumkan paket sanksi baru yang akan mencakup larangan impor gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG).
Sekadar catatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan determinasi pemerintah untuk menuntaskan proyek GRR Tuban, kendati Rosneft dari Rusia sedang terpapar sanksi baru dari AS.
Bahlil menggarisbawahi pembahasan soal nasib Kilang Tuban terus dikejar oleh Pertamina bersama dengan pihak Rosneft.
“Sekarang masih tetap on progress bahwa ada plan A, plan B; semuanya dalam pembahasan. Akan tetapi, pemerintah bersama Pertamina akan fokus untuk mengeksekusi ini,” ujarnya ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (24/10/2025).
Bahlil mengatakan proyek kilang minyak adalah kebutuhan urgen untuk menopang ketahanan energi nasional saat ini.
Selain memperjuangkan Kilang Tuban, lanjutnya, pemerintah juga menyusun peta jalan kerja sama untuk membangun kilang-kilang baru di 18 titik. Proyek kilang-kilang spot tersebut tengah ditinjau oleh BPI Danantara.
GRR Tuban sejatinya ditargetkan mencapai keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID) pada kuartal IV-2025, setelah beberapa kali tertunda.
Nilai proyek GRR Tuban diprediksi mencapai US$24 miliar dan dirancang untuk memiliki kapasitas olahan minyak mentah 300.000 barel per hari (bph). Hingga saat ini pembangunan proyek itu masih tersendat lantaran menanti keputusan investasi akhir dari Rosneft.
PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) melaporkan proyek Kilang Tuban masih dalam fase pengembangan yakni pembukaan lahan sebelum keputusan FID yang ditargetkan pada kuartal IV-2025 tuntas.
Setelah FID, megaproyek kilang yang digarap oleh anak usaha raksasa migas Rusia melalui usaha patungan bersama PT Pertamina (Persero) itu akan memasuki tahapan engineering, procurement, and construction (EPC).
(azr/wdh)































