Setahun kemudian, pada 2021, pemerintah masih mengimplementasikan biodiesel B30, tetapi volumenya naik menjadi 9,3 juta kl, sedangkan impor solar turun menjadi 3,19 juta kl.
Berdasarkan laporan Kementerian ESDM, efisiensi devisa dari program biodiesel B30 pada tahun tersebut mencapai US$4,62 miliar atau sekitar Rp66 triliun,
Pada 2022, pemerintah masih mengimplementasikan B30, kali ini konsumsi biodiesel meningkat menjadi 10,44 juta kl. Akan tetapi, impor solar justru tercatat naik menjadi 5,27 juta kl. Pemerintah memperkirakan penghematan devisa mencapai US$6,61 miliar atau Rp122 triliun.
Memasuki 2023, pemerintah memperluas mandatori biodiesel dari B30 menjadi B35. Implementasi program B35 membuat volume biodiesel melonjak menjadi 12,28 juta kl, sementara impor solar turun tipis menjadi 5,14 juta kl. Dari capaian tersebut, penghematan devisa tercatat US$7,92 miliar atau Rp120,8 triliun.
Selanjutnya, pada 2024 pemerintah masih mempertahankan bauran biodiesel B35, realisasi pemanfaatan biodiesel mengikat ke kisaran 13,15 juta kl, tetapi impor solar tercatat sebesar 7,58 juta kl. Pemerintah mengklaim berhasil menghemat devisa sebesar US$7,86 miliar atau Rp124,28 triliun gegara B35.
Pada tahun ini, campuran biodiesel ditingkatkan menjadi 40% atau dikenal dengan program B40. Serapan B50 ditargetkan mencapai 15,6 juta kl, dengan perincian 7,55 juta kl diperuntukkan untuk segmen public service obligation (PSO), sedangkan sisanya atau sebanyak 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO.
Lewat program B40 itu, Kementerian ESDM membidik penghematan devisa pada tahun ini sebesar Rp147,5 triliun, sedangkan impor solar pada tahun ini, diperkirakan melandai ke angka 4,9 juta kl.
Rencana B50
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan mandatori biodiesel B50 akan diimplementasikan pada semester II-2026. Dia mengklaim penerapan B50 akan menyetop impor solar yang dilakukan Indonesia.
Bahlil menyebut, total impor minyak solar yang diperkirakan di angka 4,9 juta kl per tahun akan terpangkas imbas implementasi mandatori B50.
Sekadar catatan, Presiden Prabowo Subianto di acara Qatar Economic Forum medio tahun lalu menyebut Indonesia mengimpor solar rata-rata senilai US$20 miliar per tahun atau sekitar Rp323,69 triliun.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian ESDM, impor minyak solar pada tahun ini mencapai 4,9 juta kl atau setara 10,58% dari total kebutuhan nasional. Dengan begitu, total kebutuhan solar RI pada 2025 mencapai sekitar 46,32 juta kl.
Adapun, dana insentif untuk B50 yang disalurkan pemerintah berasal dari pungutan ekspor (PE) CPO. Nantinya, dana tersebut dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dan akan digunakan untuk menutup selisih harga CPO dengan solar.
Pada tahun ini saja, ketika biodiesel B40 dimandatorikan, dana insentif yang diberikan BPDP untuk program tersebut diproyeksikan meningkat. Mulanya, pembiayaan biodiesel untuk program B40 diproyeksikan sekitar Rp35,5 triliun, tetapi akhirnya mengalami kenaikan Rp16,8 triliun menjadi sekitar Rp52,3 triliun.
Alokasi pendanaan biodiesel pada 2025 hanya dibatasi untuk segmen PSO sebanyak 7,55 juta kl dari total target produksi B40 tahun ini sebanyak 15,6 juta kl.
Sementara itu, untuk B50, pemerintah masih menyusun besaran insentif yang akan dialokasikan seiring dengan berjalannya pengujian teknis B50.
Sebagai catatan, Kementerian ESDM memprediksi Indonesia membutuhkan tambahan produksi 4 juta kl fatty acid methyl ester (FAME) untuk menjalankan mandatori B50 pada 2026.
Kementerian ESDM mencatat total produksi biodiesel untuk memenuhi kebutuhan B40 berada sekitar 15,7 juta kl. Untuk B50, ESDM memprediksi program tersebut akan menghabiskan biodiesel sekitar 19 juta hingga 20 juta kl.
Dengan begitu, Indonesia membutuhkan tambahan produksi sekitar 4 juta kl FAME untuk menjalankan B50.
Dalam perkembangannya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memastikan Indonesia akan memangkas 5,3 juta ton ekspor CPO pada 2026 guna menyokong program mandatori B50.
Amran mengatakan produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 46 juta ton/tahun, tetapi hanya 20 juta ton yang digunakan untuk diproses di dalam negeri. Adapun, 26 juta ton lainnya masih dijual untuk pasar ekspor.
“B50 membutuhkan CPO 5,3 juta ton. Ekspor ini nantinya kita tarik 5,3 juta ton, kemudian dijadikan biofuel, dijadikan pengganti solar,” ungkap Amran.
Indonesia padahal adalah produsen dan eksportir CPO nomor satu dunia. Tingginya kebutuhan CPO dalam negeri untuk program B50 akan membuat ekspor berkurang, artinya pasokan ke pasar internasional menyusut.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total produksi CPO mencatat sepanjang Januari—Juli 2025 mencapai 30,59 juta ton dan 14,3 juta ton di antaranya dimanfaatkan untuk dalam negeri, sedangkan 19,2 juta ton sisanya diekspor.
Berdasarkan kebutuhannya, sektor pangan menyerap sekitar 5,7 juta ton CPO, oleokimia 1,3 juta ton CPO, dan biodiesel 7,2 juta ton CPO.
Gapki juga mencatat, dalam tiga tahun terakhir, produksi CPO stagnan di sekitar 50 juta ton. Perinciannya; realisasi produksi 2022 sebesar 46,7 juta ton, 2023 sebanyak 50,6 juta ton, dan 2024 sejumlah 48,1 juta ton.
(azr/wdh)
































