Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebelumnya mengeklaim ketetapan bunga bukan bentuk dari kartel dan menegaskan bunga 0,8% menjadi arahan OJK dan merupakan bagian dari instrumen asosiasi.
Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah menerangkan pada saat itu bahwa pihaknya ditunjuk secara resmi oleh OJK sebagai asosiasi penyelenggara fintech pendanaan. Dalam penunjukan tersebut, mereka pun diminta memahami serta menyesuaikan aturan dengan kebijakan otoritas.
“Jadi flow-nya AFPI ini ditunjuk oleh OJK sebagai asosiasi resmi pindar. Ya itu satu flow-nya. Yang kedua, di dalam penunjukkan itu disebutkan bahwa AFPI itu harus paham terhadap hukum, terhadap aturan dari OJK dan lain-lain. Kurang lebih seperti itu,” jelas Kuseryansyah dalam diskusi publik di Jakarta pada 27 Agustus 2025 lalu.
OJK: Atur Bunga Fintech untuk Pelindungan Masyarakat
Adapun OJK merespons pernyataan publik dari AFPI, yang sebelumnya mengatakan bahwa aturan bunga pinjol 0,8% adalah bagian dari perintah lembaga negara bidang pengawas industri finansial tersebut. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman mengaku atas arahan itu.
Dia menyinggung arahan batasan bunga fintech P2P lending “yang selanjutnya ditegaskan dalam Surat OJK Nomor S-408/NB.213/2019 tanggal 22 Juli 2019,” dikutip 8 September 2025. Arahan bunga maksimal, yang kemudian dipersoalkan KPPU, pun menjadi bagian dari pedoman perilaku sebelum terbit surat edaran atas penyelenggaraan layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi atau LPBBTI (SEOJK No.19/SEOJK.06/2023).
“Penetapan batasan manfaat ekonomi oleh AFPI tersebut dilakukan dalam rangka memberikan pelindungan kepada masyarakat dari suku bunga tinggi, menjaga integritas industri pindar, serta membedakan pinjaman online legal atau pindar dengan yang illegal atau pinjol,” kata Agusman dalam keterangan tertulis dia.
(far/wep)































