Logo Bloomberg Technoz

Menteri Ekonomi Nasional Hungaria, Marton Nagy, juga menambahkan bahwa jalur terbaik untuk memperkuat rantai pasok EV global bukan lewat tarif proteksionis, melainkan dialog dan kerja sama, seperti yang mereka lakukan dengan Tiongkok.

Reliance dan Hithium Buka Jalan di India

Cerita serupa muncul di Asia lewat langkah Reliance Industries, konglomerat terbesar India. Perusahaan yang diketuai Mukesh Ambani ini meneken kesepakatan dengan Hithium Energy Storage Co., produsen baterai Tiongkok asal Xiamen, untuk membangun gigafactory di India. Reliance akan memproduksi baterai menggunakan teknologi inti Hithium dengan imbalan pembayaran royalti.

Bagi India, proyek ini sejalan dengan ambisi program Make in India dan target ekspor teknologi senilai USD 1 triliun pada 2030.

Hithium sendiri bukan pemain kecil. Berkat sokongan modal riset dan dukungan kebijakan dari Beijing, perusahaan ini kini masuk tiga besar produsen baterai global. Namun, jalannya tidak selalu mulus. Klien utama mereka di AS, Powin Energy, baru-baru ini mengajukan kebangkrutan. Kejadian ini menimbulkan tanda tanya soal ketahanan strategi ekspansi Hithium sekaligus menambah beban finansialnya.

Meski begitu, kemitraan dengan Reliance memberi pijakan baru bagi mereka.

Kemitraan seperti ini pun selaras dengan ungkapan Perdana Menteri India Narendra Modi dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada Agustus 31 lalu, di mana ia mengatakan:
“Kerja sama antara kami berkaitan dengan kepentingan 2,8 miliar penduduk kedua negara kami. Hal ini juga akan membuka jalan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Kami berkomitmen untuk terus memperkuat hubungan kita berdasarkan saling percaya, menghormati, dan peka terhadap kepentingan satu sama lain,” ujarnya.

Posisi Indonesia dalam Peta Energi Bersih

Bagi Indonesia, kisah Hungaria dan India bisa menjadi cermin. Sang merah putih memiliki posisi unik: ekonomi terbesar Asia Tenggara, pemasok nikel terbesar dunia, dan mitra lama Tiongkok dalam rantai nilai energi bersih.

Indonesia pun tengah menata ulang peta energinya. Target puncak emisi pada 2030, penghentian batu bara pada 2040, serta net zero pada 2060, atau 2050 sesuai visi terbaru Presiden Prabowo Subianto, menuntut percepatan transisi. Skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar, ditambah rencana penambahan 75 GW kapasitas energi terbarukan, hanyalah awal langkah negeri ini. Nusantara, ibu kota baru, bahkan diproyeksikan mencapai emisi nol pada 2045.

Dengan segala potensi ini, tidak heran bila Indonesia memikat pemain global seperti Hithium sebagai pasar strategis berikutnya. Modal sumber daya mineral dan dukungan pendanaan internasionalnya membuat Indonesia berpeluang besar menjadi hub manufaktur baterai dan energi bersih di Asia Tenggara.

Jalan Panjang dan Tantangannya

Ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi untuk meraih impian ini, seperti kebutuhan regulasi yang jelas, infrastruktur energi yang belum merata, serta perlunya menjaga keseimbangan antara investasi asing dan kepentingan domestik.

Namun, pengalaman Hungaria membuktikan bahwa kemitraan dengan perusahaan Tiongkok bisa membawa keuntungan ganda: transfer teknologi, riset lokal, dan daya saing industri global.

Perkembangan di Hungaria dan India pun menunjukkan bahwa Indonesia bisa mengulangi kesuksesan mereka dengan membuka pintu investasi, memanfaatkan cadangan nikel, dan pada akhirnya menjadi simpul penting dalam rantai pasok energi terbarukan dunia.

(tim)

No more pages