Pembagian beban bunga dilakukan dengan membagi rata biaya bunga atas penerbitan SBN untuk program pemerintah, setelah dikurangi penerimaan atas penempatan dana pemerintah untuk kedua program tersebut di lembaga keuangan domestik.
2. Pertama Kali Saat Pandemi Covid-19
Mekanisme ini muncul pertama kali saat pandemi Covid-19 sebagai langkah darurat untuk menurunkan biaya pinjaman pemerintah sekaligus menjaga stabilitas pasar keuangan.
Berbeda dengan kebijakan pembiayaan normal, burden sharing bersifat sementara dan hanya dapat digunakan ketika negara menghadapi krisis yang mengancam perekonomian.
Dalam praktiknya, burden sharing saat pandemi dibagi dalam dua klaster. Pertama, klaster public goods yang mencakup pembiayaan kesehatan, perlindungan sosial, serta belanja kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait Covid-19. Untuk klaster ini, beban bunga SBN seluruhnya ditanggung BI, dengan nilai pembiayaan mencapai Rp397,56 triliun pada 2020.
Kedua, klaster non-public goods yang berfokus pada dukungan bagi dunia usaha, UMKM, dan korporasi. Pada klaster ini, beban bunga dibagi antara pemerintah dan BI sesuai formula yang disepakati. Dana tersebut digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan, membiayai program bantuan sosial, serta menjaga kelangsungan usaha melalui program penempatan dana, penjaminan kredit, hingga subsidi bunga bagi UMKM.
3. Dasar Hukum Burden Sharing
Dasar hukum skema ini berawal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Aturan ini memberikan kewenangan dalam kebijakan keuangan negara, termasuk kerja sama pembiayaan dengan BI.
Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63 Tahun 2020, yang menegaskan penerbitan SBN oleh pemerintah dapat dibeli BI di pasar perdana berdasarkan Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Skema ini kemudian dilakukan melalui dua SKB penting yakni SKB I pada April 2020 yang mengatur dukungan pembelian SBN di pasar perdana, dan SKB II pada Juli 2020 yang secara spesifik mengatur pembagian beban bunga SBN antara pemerintah dan BI untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
4. Skema Burden Sharing Berlanjut
Skema ini kemudian dilanjutkan hingga 2022 dengan penyesuaian. Pada 2021-2022, burden sharing lebih terfokus pada pembiayaan public goods seperti kesehatan dan perlindungan sosial. Pemerintah menegaskan bahwa skema ini bersifat sementara.
Sebagai tindak lanjut, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) mempertegas kewenangan BI untuk membeli SBN di pasar perdana hanya jika kondisi krisis sebagaimana dinyatakan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, tercatat dari penerbitan SBN dalam rangka SKB II dan SKB III, terdapat SBN berupa SUN seri Variable Rate (VR) yang khusus dijual kepada BI di pasar perdana dengan total nilai sebesar Rp612,56 triliun.
Total jatuh tempo utang-utang tersebut mulai sebesar Rp100 triliun pada 2025, Rp154,5 triliun pada 2026, Rp154,5 triliun pada 2027, Rp152,06 triliun pada 2028, dan Rp51,5 triliun pada 2029.
Dengan demikian, skema burden sharing tidak lagi berjalan otomatis, melainkan hanya dapat diaktifkan jika situasi luar biasa kembali terjadi.
5. Burden Sharing Era Prabowo untuk 2 Program Prioritas
Skema burden sharing pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini dilakukan untuk mendukung pembiayaan dua program prioritas pemerintah, yakni Program Perumahan Rakyat dan Program Koperasi Desa Merah Putih. Pembagian beban bunga dilakukan secara proporsional 50:50.
Dengan demikian, pemerintah dan BI masing-masing menanggung bunga sekitar 2,9% untuk program perumahan rakyat dan 2,15% untuk program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sebagaimana dicontohkan Gubernur BI Perry Warjiyo.
"Kami sampaikan sampai dengan kemarin [Senin 1 September 2025] kami sudah membeli SBN Rp200 triliun dan itu konsisten dengan kami memang mau ekspansif kebijakan moneternya. Penurunan suku bunga dan kemudian kami ekspansif menambah likuiditas dengan cara membeli SBN dari pasar sekunder sesuai kaidah-kaidah kebijakan moneter," jelas Perry.
Dalam pelaksanaannya, pembagian beban dilakukan dalam bentuk pemberian tambahan bunga terhadap rekening Pemerintah yang ada di Bank Indonesia sejalan dengan peran Bank Indonesia sebagai pemegang kas Pemerintah sebagaimana Pasal 52 Undang Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK juncto Pasal 22 serta selaras dengan Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Selain itu, besaran tambahan beban bunga oleh BI kepada pemerintah tetap konsisten dengan program moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian dan bersinergi untuk memberikan ruang fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meringankan beban rakyat.
(lav)






























