“Nah jadi, potensi untuk mengumpulkan massa lebih luas lagi lewat fitur live ini sangat tinggi sih menurut saya. Termasuk juga di dalamnya kan ada komen, ada ajakan, ada seruan, ada informasi doxing juga,” tutur Enda.
Kemkomdigi RI Dinilai Lamban
Oleh karena itu, dia menyebut penangguhan sementara fitur live ini merupakan tanggung jawab TikTok dan ByteDance — perusahaan induk TikTok asal China — tanpa menunggu permintaan pemerintah.
Enda menduga keputusan cepat berpangkal dari kenaikan jumlah pengunjung (traffic) dari sisi penonton dan pengguna yang memakai fitur tersebut. Alhasil pengelola platform tak ingin dituduh sebagai penyebab dari penjarahan atau kekerasan lebih besar.
Meski begitu, Enda memandang bahwa pemerintah Republik Indonesia (RI) juga lamban dalam untuk mengantisipasi gelombang demonstrasi. Dia juga menyebut Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) seharusnya mempunyai standar operasional prosedur (SOP) jika terjadi demo besar-besaran.
“Misalnya kayak ajakan untuk warga jaga warga, misalnya, atau apa. Itu kan harusnya bisa dikeluarin sama Komdigi gitu ya, atau malah kita nggak denger ya sementara ini kan, malah yang didenger dari presiden dan lain sebagainya,” kata Enda.
Enda juga tak melihat adanya kampanye, seruan, atau ajakan untuk pengguna medsos tidak percaya dengan berita bohong atau hoax dan lain sebagainya dari Komdigi. Sedangkan platform semisal TikTok melihat data trafficnya tinggi terkait penggunaan fiturnya, maka ada tindakan penghentian sementara sebagai bentuk respons atau tanggung jawab mereka.
“Jadi, saya justru melihat pemerintah dalam konteks ini Komdigi agak lambat berjalan,” ungkap Enda.
Doxing Sudah Terjadi Sejak Dulu
Ebdra mengatakan bahwa sudah sedari dulu medsos menjadi ajang doxing atau perilaku menyebarkan informasi pribadi seseorang tanpa izin di internet, termasuk di Indonesia. Misalnya saat ada yang tidak suka sama seseorang, netzien bakal merundung atau bullying ke akun medsos orang itu bahkan ke akun medsos keluarganya.
Selain ranah personal, hal itu juga bisa terjadi pada perusahaan seperti banyak penilaian (review) yang buruk. Dulu, mereka bisa membom surel atau surat elektronik (e-mail) atau memesan pizza dengan jumlah banyak namun tak membayarnya.
Sederhananya, lanjut Enda, mereka ingin menyusahkan seseorang bagaimanapun caranya dan itu yang dilakukan netizen RI saat ini.
“Jadi memang ini sebagai sebuah ekspresi, ‘sebuah bentuk perlawanan’ lah bisa dibilang gitu ya, apasih yang bisa kita lakukan,” pungkas Enda.
Dugaan Ada Permintaan dari Pemerintah
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menduga penghentian sementara fitur siaran langsung (live) TikTok sebelumnya atas adanya permintaan dari Pemerintah RI.
“Ini memang perlu dikonfirmasi lebih lanjut, meskipun TikTok bilang ini merupakan keputusan voluntary, tapi kami menduga tetap adanya tekanan politik atau permintaan pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum kepada Bloomberg Technoz, Selasa (2/9/2025).
Dia menambahkan, hal itu dikarenakan polanya serupa dengan praktik-praktik sebelumnya, yaitu pemerintah kerap menekan platform digital untuk menurunkan konten yang dianggap “bermasalah” atau mengganggu stabilitas. Menurut Nenden, penghentian sementara fitur live di TikTok dapat menimbulkan kerugian besar bagi publik.
Dia mengatakan bahwa fitur tersebut merupakan sarana hiburan serta berjualan, ruang penting untuk jurnalisme warga, dan alat untuk dokumentasi langsung atas apa yang terjadi di lapangan. Ketika demo tengah berlangsung, kegiatan siaran langsung atau live streaming bisa menjadi alat untuk memperluas transparansi dan mencegah terjadinya kekerasan aparat yang tak tercatat.
“Dengan dihentikannya fitur ini, masyarakat kehilangan salah satu kanal utama untuk mengakses informasi real-time (waktu nyata),” tutur Nenden.
Dia pun menyebut SAFEnet mengapresiasi kembalinya fitur live di TikTok, sehingga akses publik terhadap ruang berekspresi digital bisa kembali. Ia tegaskan bahwa demonstrasi sebetulnya bukan dipicu oleh fitur siaran langsung atau live di TikTok, tetapi soal situasi politik, sosial ekonomi di Indonesia.
“Aktifnya live TikTok sebetulnya malah menjadi sarana transparansi dan akuntabilitas, bukan pemicu demo,” kata dia. “Namun, penting dicatat bahwa pembatasan sementara yang sempat dilakukan sudah menimbulkan preseden buruk, dan hal seperti ini bisa terjadi lagi sewaktu-waktu, dan hak warga untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi bisa tiba-tiba diputus dengan alasan keamanan yang tidak transparan.”
Dia juga membenarkan saat ini media sosial menjadi ajang doxing atau perbuatan membuka data diri seseorang dan membagikannya di ruang publik tanpa persetujuan dan serangan digital marak terjadi di Indonesia. Terutama terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil yang kritis.
“Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital telah menjadi arena intimidasi yang dapat menciptakan ketakutan, membungkam kritik, dan pada akhirnya menyebabkan regresi demokrasi. Ini merupakan ancaman serius, karena serangan digital ini mempersempit partisipasi publik,” pungkas Nenden.
*) Artikel ini mendapat pembaruan dari pernyataan SAFEnet.
(far/wep)

































