“Dari historinya biasanya sektor-sektor yang berkontribusi adalah tentunya sektor-sektor yang PDB-nya juga besar. Nah itu biasanya beberapa sektor seperti manufaktur, itu kontribusinya masih besar,” ujarnya.
“Itu harus kita percepat semua. Jadi itu nanti akan mendukung rebound untuk semester kedua,” tuturnya.
Berbeda pandangan, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef Rizal Taufikirahman menilai kesepakatan RI-AS mencerminkan adanya tekanan geopolitik dan kepentingan dagang besar yang belum sepenuhnya diimbangi oleh kesiapan instrumen kebijakan domestik.
Menurut dia, kesepakatan tersebut lebih banyak merugikan Indonesia. Sayangnya, pemerintah hingga saat ini diduga masih belum memiliki strategi kebijakan domestik yang memadai untuk menangkal potensi kerugian ini.
“Tidak tampak adanya rencana afirmatif seperti penguatan insentif bagi pelaku lokal. Padahal, dalam banyak negara, kesepakatan dagang seperti ini selalu diimbangi dengan kebijakan domestik yang tegas agar tidak mengorbankan kepentingan jangka panjang industri dan perlindungan rakyat,” ujarnya.
Untuk meminimalisir dampak buruk dari kesepakatan RI-AS, Rizal menyarankan pemerintah dapat segera menyiapkan strategi kompensasi domestik yang efisien, efektif, dan terukur.
Menurut dia, tanpa intervensi kebijakan yang memadai dan efektif, maka Indonesia berisiko makin terjebak sebagai pasar pasif, sementara nilai tambah ekonomi justru dinikmati oleh entitas luar negeri.
“Langkah pertama yang perlu diambil adalah pemberian insentif fiskal yang bersifat afirmatif seperti dengan super deduction tax, pembiayaan bunga rendah, atau skema matching fund,” tuturnya.
Sebelumnya, Indonesia dengan AS resmi menyepakati kerangka kerja dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik atau Agreement on Reciprocal Trade guna memperkuat hubungan ekonomi bilateral kedua negara.
Kesepakatan tersebut tertuang dalam pernyataan bersama atau joint statement yang dirilis Gedung Putih, Rabu (23/7/2025).
Perjanjian turut mewajibkan kedua negara untuk merumuskan atau merevisi aturan di dalam negeri masing-masing, sesuai dengan sejumlah klausul kesepakatan antara kedua negara.
"Dalam beberapa pekan mendatang, AS dan Indonesia akan merundingkan dan menyelesaikan Perjanjian Perdagangan Timbal Balik," tulis Gedung Putih dalam pernyataan.
"Selain itu, menyiapkan Perjanjian untuk ditandatangani, dan melaksanakan formalitas domestik sebelum Perjanjian mulai berlaku."
Dalam penyelesaian akhir tersebut, kedua negara akan segera melaksanakan perubahan segala jenis aturan yang dinilai menghambat arus perdagangan.
Pada dasarnya, Indonesia memiliki aturan persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) bagi investor asing yang menanamkan modal di Indonesia.
Beleid diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian, sebagai salah satu dari amanat Undang-undang Nomor 3/1014 tentang Perindustrian.
Itu berarti pemerintah harus segera mengubah segala jenis aturan tersebut sebelum persiapan perjanjian untuk ditandatangani, sebagai bagian dari "melaksanakan formalitas domestik sebelum perjanjian mulai berlaku."
Beleid tersebut mengatur soal persentase komponen lokal (bahan baku, tenaga kerja, proses produksi) yang digunakan dalam pembuatan suatu produk atau jasa yang berasal dari luar negeri, guna mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, termasuk mengurangi ketergantungan dari barang impor.
Dalam negosiasi tersebut, Indonesia sebelumnya juga telah melakukan deregulasi melalui pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Sebagai gantinya, pemerintah menerbitkan 9 Permendag baru berbasis klaster komoditas, yang juga menjadi bagian dari paket kebijakan deregulasi yang bertujuan untuk meningkatkan iklim investasi dan daya saing di Indonesia.
(lav)






























