Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025—2034, Indonesia berencana membangun PLTN berkapasitas total 500 megawatt (MW).
Terkait dengan rencana itu, Aryo menyebut Kadin menerima banyak pertanyaan dari negara-negara lain soal pengembangan nuklir di Tanah Air.
Menurut dia, pembahasan terkait nuklir identik dengan negara seperti AS, Rusia, dan China. Namun, kata Aryo, sebetulnya negara seperti Kanada yang memiliki cadangan uranium cukup besar dan juga menarik.
“Ada teknologi yang sangat menarik dari Kanada dan Korea. Menurut saya ini jauh lebih diterima pemerintah Presiden Donald Trump, kami tidak ingin membuat pihak AS cemas,” kata Aryo melalui siaran pers medio pekan lalu.
Aryo juga mengatakan rencana pembangunan PLTN di Indonesia menarik untuk dibahas, terutama untuk segmen reaktor skala kecil atau small modular reactor (SMR).
Rekomendasi Pakar
Dihubungi terpisah, pakar energi menyarankan Indonesia bisa menggunakan teknologi nuklir dari dua negara berbeda untuk mengembangkan PLTN skala kecil, yang ditarget beroperasi pada 2030 sebesar 500 MW. Selain Rusia, RI bisa bekerja sama dengan China.
Dosen dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB) Nanang Hariyanto mengatakan teknologi reaktor modular kecil dari China cukup canggih.
Negeri Panda juga disebut memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dan keuangan yang baik dalam mengembangkan nuklir di Tanah Air.
“China itu punya teknologi, punya orang [SMD], finance, yang mengerjakan ada. Kalau Rusia teknologinya canggih, tetapi belum tahu finance-nya. Ini masalah geopolitik saja,” kata Nanang.
Nanang mengatakan Indonesia dapat menggunakan dua tempat atau tapak yang berbeda untuk mengembangkan teknologi SMR.
“Bisa kita gunakan teknologi negara yang berbeda, tetapi basis PLTN SMR. Kalau secara peraturan harus berbasis PLTN darat, belum ada yang PLTN terapung. Artinya kalau ada tipe SMR floating, dapat di dock ke pantai sehingga menyatu dengan darat untuk dioperasikan,” ujarnya.
Dalam kaitan itu, PLTN akan dibangun di atas kapal dalam dengan kapasitas kecil untuk mulai pengenalan operasi yakni dengan kapasitas sekitar 30 MW.
Menurutnya, PLTN SMR lebih baik dibangun bertahap dari kapasitas kecil hingga besar untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan ke depannya.
Nanang juga memerinci jenis teknologi bisa bervariasi dari teknologi yang sudah memiliki lisensi dan sudah beroperasi untuk bekerja sama.
Negara tersebut seperti China yang mempunyai jenis teknologi PLTN berbasis SMR light water reactor (LWR) dan juga high temperature reactor (HTGR).
Kemudian, Korea yang memiliki teknologi SMR LWR, Amerika Serikat (AS) yang memiliki basis teknologi SMR LWR, serta Rusia dengan teknologi tipe LWR dengan jenis floating PLTN atau terapung dan bisa juga ditempatkan di dock pantai atau di atas kapal.
Dia menjelaskan teknologi reaktor SMR dari Rusia yang ada dan tersedia berbasis LWR floating. Sementara itu, AS dengan teknologi NuScale, Korea dengan SMART/iSMR, China dengan ACP100. Ketiganya menggunakan SMR LWR berbasis darat.
Secara aturan, kata dia, PLTN berbasis darat bisa diimplementasikan di Indonesia. Namun, harga akan relatif tergantung skema keuangan dan investasi yang dipakai.
Pembangunan unit pertama PLTN akan mempunyai harga yang relatif lebih mahal. Akan tetapi, apabila banyak unit dibangun di lokasi tapak, harga listrik yang dihasilkan bisa lebih kompetitif.
(mfd/wdh)

































