Logo Bloomberg Technoz

“Saya malah menemukan benang merah atas kenaikan harga BBM kemarin [Juli 2025] dengan isu ini, padahal tren harga minyak menurun. Artinya, konsumennya lah yang menanggung selisih itu,” kata Hadi saat dihubungi, dikutip Senin (7/7/2025).

Hadi menjelaskan untuk BBM bersubsidi, seperti Solar dan Pertalite, Pertamina harus meminta persetujuan pemerintah jika hendak menaikkan harga. Namun, jika pemerintah tidak setuju, Pertamina yang akan menanggung beban harga tersebut.  

“Dan makin berat lah tugas Pertamina,” ujarnya.

Untuk itu, Hadi menyarankan pemerintah agar menggalakkan konversi BBM atau LPG ke gas secara masif dan agresif dengan membangun infrastruktur jaringan gas (jargas) yang terintegrasi agar ketergantungan terhadap impor migas bisa diredam.

Kesepakatan Impor

Dalam perkembangan terakhir, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah telah membahas rencana untuk membeli produk energi dari AS senilai US$15,5 miliar dari total proposal dagang senilai US$34 miliar yang diajukan ke pemerintahan Donald Trump.

Langkah ini dilakukan sebagai bentuk tawaran dari Indonesia ke AS yang berkaitan dengan negosiasi tarif resiprokal. Adapun, komoditas yang berpeluang diimpor mencakup minyak mentah (crude), gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG), dan gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG).

"Jadi sudah dibahas tentang rencana Indonesia mengenai pembelian energi yang totalnya bisa mencapai US$15,5 miliar. Terkait dengan detailnya, nanti sesudah diumumkan baru nanti kita umumkan," ujar Airlangga dalam konferensi pers, Kamis (3/7/2025).

Nilai US$15,5 miliar tersebut jauh melebihi estimasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya di kisaran US$10 miliar.

Jika dibandingkan dengan total nilai impor migas RI dari AS senilai US$2,49 miliar pada 2024, angka tersebut juga terpaut sangat jauh. 

Neraca perdagangan Indonesia-Amerika Serikat (AS)./dok. BPS diolah Kemendag, 2025

Butuh Kepastian

Di sisi lain, Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri sebelumnya menyatakan perseroan membutuhkan kepastian regulasi dari pemerintah, sehubungan dengan kebijakan realokasi impor migas ke AS.

Simon mengatakan Pertamina pada dasarnya mendukung upaya negosiasi pemerintah. Akan tetapi, terdapat sederet risiko yang harus dihadapi perseroan jika harus mengemban tugas impor migas lebih banyak dari Negeri Paman Sam.

“Menindaklanjuti rencana peningkatan porsi impor migas dari AS ini tentu tidak lepas dari berbagai tantangan teknis dan risiko yang harus dipertimbangkan secara matang,” ujarnya saat rapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (22/5/2025).

Tantangan dan risiko tersebut, lanjut Simon, mencakup aspek logistik, distribusi, serta kesiapan infrastruktur hingga aspek keekonomian untuk mitigasi risiko yang dapat mengganggu ketahanan energi nasional.

“Risiko utama adalah dari sisi jarak dan waktu pengiriman dari Amerika Serikat yang jauh lebih panjang yaitu sekitar 40 hari dibandingkan dengan sumber pasokan dari Timur Tengah ataupun negara Asia,” terangnya.

Jika terjadi kendala cuaca—seperti badai atau kabut — rute pelayaran yang jauh tersebut akan menimbulkan dampak langsung terhadap ketahanan stok nasional.

Untuk itu, Simon mengatakan Pertamina saat ini tengah melakukan kajian komprehensif; mencakup aspek teknis, komersial, dan risiko operasional guna memastikan skenario peningkatan suplai migas dari AS dapat dieksekusi secara efektif.

“Selain itu juga, kami memerlukan dukungan kebijakan dari pemerintah dalam bentuk payung hukum, baik melalui peraturan presiden maupun peraturan menteri, sebagai dasar pelaksanaan kerja sama suplai energi bagi Pertamina,” tegasnya.

Dia pun memastikan Pertamina telah berkoordinasi dengan tim perunding yang dipimpin Kemenko Bidang Perekonomian dan saat ini tengah menjajaki ketersediaan suplai dari AS yang sesuai, baik dari sisi kualitas, volume, hingga aspek komersial yang tetap kompetitif.

Terlepas dari negosiasi tarif tersebut, Simon menyebut Pertamina selama ini sebenarnya sudah memiliki kerja sama rutin dengan AS untuk suplai komoditas migas.

Kerja sama tersebut mencakup minyak mentah sekitar 4% dari total impor nasional dan LPG 57%. Adapun, total nilai impor kedua komoditas tersebut dari AS mencapai US$3 miliar per tahun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor migas Indonesia sepanjang 2024 mencapai US$36,27 miliar. Postur impor itu berasal dari pembelian minyak mentah sekitarUS$10 miliar dan hasil migas sebesar US$25,92 miliar.

Adapun, impor LPG Indonesia sepanjang 2024 mencapai 6,89 juta ton dengan nilai mencapai US$3,78 miliar. Porsi impor LPG dari Amerika Serikat mencapai 3,94 juta ton, dengan nilai impor US$2,03 miliar.

Selain AS, Indonesia mengimpor LPG dari Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Arab Saudi hingga Algeria.

Di sisi lain, kuota impor minyak mentah Indonesia dari AS terbilang kecil dibandingkan dengan realisasi impor sepanjang 2024. Indonesia mengimpor minyak mentah dari AS sekitar US$430,9 juta pada periode tersebut.

Sebagian besar impor minyak mentah Indonesia berasal dari  Arab Saudi, Angola, Nigeria hingga Autralia. Sementara itu, impor BBM kebanyakan berasal dari kilang di Singapura. 

-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi

(wdh)

No more pages