Bloomberg Technoz, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan DPR; DPD; presiden dan wakil presiden; DPRD; dan kepala daerah dilakukan secara terpisah mulai 2029. Hal tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Wakil Ketua MK Saldi Isra menegaskan bahwa pihaknya memutuskan hal tersebut akibat mempertimbangkan pembentuk undang-undang belum merubah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan tanggal 26 Februari 2020.
Selain itu, lanjut Saldi, pembentuk undang-undang juga tengah mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilihan umum.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” tegas kata Saldi, melansir laman resmi MK, dikutip Minggu (29/6/2025).
Berikut, 7 poin-poin MK putuskan pemilu dilakukan terpisah pada 2029:
1. ‘Menenggelamkan’ Masalah Pembangunan Daerah
MK menyatakan waktu penyelenggaraan pemilihan presiden/wakil presiden serta anggota legislatif yang berdekatan dengan pilkada menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilihan.
Selain itu, MK menilai rentang waktu yang berdekatan tersebut membuat masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional. Hal tersebut dinilai terjadi, akibat calon pemimpin di tingkat pusat yakni calon anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden memiliki janji politiknya tersendiri di tingkat nasional.
2. Pelemahan Kelembagaan Partai Politik
MK juga menilai pemilu serentak memiliki dampak terhadap kesiapan partai dalam menyiapkan kader pada kontestasi pemilu. Akibatnya, kata dia, partai politik mudah mengesampingkan idealisme dan ideologi partai demi memprioritaskan kemenangan dalam pemilu.
Selain itu, kata MK, pemilu serentak memiliki jadwal yang berdekatan sehingga partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk merekrut calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus. Ditambah, kata dia, partai politik tetap harus mempersiapkan kadernya dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.
3. Ancaman Kualitas Penyelenggaraan Pemilihan
MK menyatakan pemilihan pemimpin nasional dan daerah yang dilakukan serentak membuat beban kerja penyelenggara pemilu bertumpuk, hingga berpotensi pengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilihan umum.
Tumpukan beban itu, dinilai MK membuat kerja penyelenggara pemilu terpusat pada rentang waktu tertentu akibat waktu pemilihan berhimpitan pada tahun yang sama, hingga akhirnya menyebabkan kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara pemilu.
4. Pemilih Jenuh dan Tidak Fokus
MK juga menilai pemilihan serentak dalam waktu berdekatan berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum. Bahkan, lanjut MK, para memilih juga dihadapi pilihan yang terlalu banyak dalam waktu yang relatif bersamaan.
“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.
5. Waktu Penyelenggaraan Pemilu
MK juga menegaskan bahwa waktu penyelenggaran pemilu nasional dengan pemilu daerah tidak mungkin ditentukan pihaknya secara spesifik. Namun, MK menilai pemungutan suara tetap dilaksanakan serentak untuk anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Setelah itu, dalam waktu paling cepat 2 tahun dan paling lama 2,5 tahun sejak pelantikan mereka, baru diadakan pemilu serentak berikutnya untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakil-wakilnya.
6. Pengaturan Masa Transisi
Terkait masa transisi atau peralihan masa jabatan kepala daerah hasil pilkada 27 November 2024, serta anggota DPRD hasil pemilihan 14 Februari 2024, MK menilai bahwa pengaturan masa transisi tersebut menjadi kewenangan membuat undang-undang. Dalam hal ini, DPR akan mengatur masa jabatan kepala daerah dan DPRD sesuai ketentuan yang berlaku.
7. Dikabulkan Sebagian
Dengan begitu, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, ‘Pemungutan suara dilakukan serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Selanjutnya, dalam jangka waktu paling cepat 2 tahun dan paling lama 2,5 tahun sejak pelantikan mereka, dilakukan lagi pemungutan suara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota, yang dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.’
(dhf)