Sejak Israel mulai menyerang Iran pada 13 Juni 2025, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengemukakan tujuan lebih besar dari sekadar melumpuhkan ancaman nuklir Teheran. Dia bahkan menyebut perubahan rezim di Iran.
Tetapi risikonya adalah Iran yang terisolasi akan lebih sulit ditebak sementara sekutu-sekutu yang dulu dekat kini menjauh.
"Ketika Iran menghadapi ujian militer paling besar dalam beberapa dekade, bantuan pasti dari Moskow atau Bejing tidak akan terwujud," ujar Adam Farrar dan Dina Esfandiary, analis Bloomberg Economics.
"Meski Rusia dan China memilik kemitraan strategis dengan Iran, kedua negara itu bukan sekutu militer Iran. Dan mereka kemungkinan besar tidak akan memberi bantuan militer atau ekonomi yang signifikan karena keterbatasan yang dihadapi atau karena pertimbangan strategis lebih besar," tulis keduanya.
Iran juga tidak mendapat bantuan dari BRICS yang merupakan kelompok negara ekonomi baru yang menginginkan satu tata aturan global baru yang tidak didominasi oleh negara-negara Barat.

Kelompok yang didirikan oleh Brazil, Rusia, India dan China dan Iran bergabung di awal 2024, tidak mengeluarkan pernyataan terkait serangan Israel dan AS ke Iran.
Iran menandatangani traktat kerja sama dengan Rusia pada Januari dan menjadi sumber penting mengatasi serangan drone di awal invasi ke Ukraina.
Namun, para pejabat Rusia sudah menegaskan bahwa traktat itu tidak menyentuh kewajiban pertahanan bagi masing-masing negara dan Moskow tidak berencana memasok senjata ke Iran, bahkan jika negara itu memintanya.
Menlu Iran Abbas Araghchi mengatakan pada wartawan di Turki pada Minggu (22/06/2025) bahwa dia berencana berkunjung ke Moskow untuk membicarakan situasi ini dengan Putin pada Senin (23/06/2025).
Kemungkinan besar dia akan disambut dengan pernyataan hangat namun tidak banyak dukungan nyata.
Situasi ini jauh berbeda dengan tahun 2015, ketika Rusia bersama Iran mengirim pasukan ke Suriah untuk menyelamatkan rezim Presiden Bashar Al-Assad yang akhirnya disingkirkan oleh pemberontak tahun lalu.
Moskow berisiko kehilangan satu sekutu penting di Timur Tengah jika pemerintah Iran pimpinan Ayatollah Ali Khamenei jatuh.
Namun, meski Kremlin mengecam serangan Israel dan AS itu, kemampuan ekonomi dan militer Putin terbatas akibat perang di Ukraina.
China juga mengecam "dengan keras" serangan AS itu sebagai pelanggaran hukum internasional. Namun, negara ini belum menawarkan bantuan pada Iran yang mengekspor 90% produk minyaknya ke Beijing.
Negara-negara tetangga Iran di kawasan Teluk mendesak pihak yang bertikai menahan diri dan memperingatkan dampaknya ke wilayah jika Iran membalas serangan itu ke aset-aset AS di Timur Tengah.
Negara seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab selama berbulan-bulan berupaya keras memanfaatkan pengaruh geopolitik dan ekonomi mereka untuk mendorong perundingan nuklir antara Amerika dan Iran.
Namun, perundingan damai itu pun diambil alih oleh kekuatan militer.
Kelompok-kelompok milisi dukungan Iran pun absen dari konflik ini. Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, yang merupakan anggota terkuat dalam blok perlawanan Iran, dihancurkan oleh militer Israel tahun lalu. Sementara serangan Israel terhadap militer Assad di Suriah merupakan aspek penting dalam kejatuhan rejim tersebut.
Hizbullah masih menjadi ancaman dan pada Minggu (22/06/2025) Amerika Serikat memerintahkkeluarga dan pegawai pemerintah tak utama segera meninggalkan Lebanon. Namun, kelompok ini tidak mengancam akan mendukung Iran dengan menembaki Israel seperti pada 2023 setelah serangan Hamas.
Kelompok Houthi di Yaman menjadi satu pengecualian dan beberapa jam setelah AS menyerang Iran, mereka mengeluarkan ancaman baru terhadap kapal komersial dan militer AS. Namun, mereka menghadapi risiko diserang oleh AS seperti yang dilakukan oleh President Trump sebelum sepakat melakukan gencatan senjata pada Mei lalu.

Eropa semakin tidak berpengaruh dalam membujuk Trump, Israel dan Tehran.
Secara historis, Inggris, Perancis dan Jerman memegang peran penting di Timur Tengah. Mereka merupakan negara ekonomi berpengaruh di Eropa. Inggris dan Perancis pernah menjadi penjajah di kawasan, sementara di Jerman yang memiliki sejarah Nazi ada suara yang pro-Israel.
Inggris dan Perancis harus mengatasi suara keras pemilih yang pro-Palestina sehingga pesan yang dikeluarkan pun menjadi rumit.
Pemerintah Inggris saat ini berada di tangan Partai Buruh yang namanya buruk setelah Tony Blair memutuskan bergabung dengan Presiden AS George W. Bush dalam menginvasi Irak pada 2003. Jadi tidak ada untungnya bagi Perdana Menteri Keir Starmer untuk mendukung keterlibatan militer AS.
Trump sendiri tampaknya tidak membutuhkan dukungan itu dan Inggris dengan senang hati tidak terlibat meski negara itu memiliki kekuatan yang bisa berguna.
Eropa kini tampak terpinggirkan dengan tidak ada pengaruh yang cukup besar pada persiteruan ini. Dalam pertemuan tinggat tinggi G-7, Trump mengecam Presiden Perancis Emmanuel Marcron karena meminta AS mewujudkan gencatan senjata antara Israel dan Iran.
Namun, Macron terus melakukan upaya ke arah itu melalui sambungan telpon. Namun, kenyataan dari insiden ini adalah Eropa memiliki masalah sendiri: keberadaannya.
Kelompok ini memerlukan kehadiran Trump di pertemuan puncak Nato di Belanda pada Selasa dan Rabu minggu ini. Para pemimpin negara anggota organisasi itu menginginkan kepastian komitmen AS pasca Perang Dunia II menghentikan perluasan Rusia tetap dihormati.
Di masa lalu, Eropa menyediakan jalur belakang untuk Iran. Namun, dalam situasi di mana Eropa dan AS tidak bekerja sama terkait isu Iran, kemungkinan besar sebagian jalur-jalur diplomatik yang berharga itu terputus.
Ini adalah satu dampak dari tindakan sepihak AS dan Eropa terpinggirkan di saat krisis Timur Tengah semakin mendalam.
(bbn)