Bloomberg Technoz, Jakarta - Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mukhamad Misbakhun melihat metode perhitungan garis kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) masih mencerminkan kondisi di Tanah Air.
Terlebih, BPS mengukur garis kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN), yang dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
"Misalnya konsumsi [minimal] 2.100 kilokalori per hari. Orang mengonsumsi 2.100 kalori per hari itu makan 3 kali sehari. Ada asupan gizinya, ada sayur, kemudian proteinnya, ada nabati," ujar Misbakhun saat ditemui di Jakarta, Rabu (11/6/2025)
Menurut Misbakhun, pemerintah juga tidak bisa serta-merta menghitung garis kemiskinan berdasarkan produk domestik bruto (PDB) per kapita. Hal ini terjadi karena perhitungan tersebut tidak mencerminkan kondisi di lapangan. Misalnya, suatu masyarakat memiliki penghasilan yang rendah, tetapi masih memenuhi kebutuhan hariannya, sehingga belum bisa dikategorikan miskin.
"Apakah kemudian karena PDB per kapita nominalnya rendah terus kemudian dikatakan kategori miskin? Tanahnya luas, kebunnya cukup, bisa memproduksi padi sendiri yang tidak dia belil. [Hal] yang seperti ini harus kita kategorikan juga di dalam statistik," ujarnya.
Namun, Misbakhun menggarisbawahi hal yang utama adalah mengatasi kemiskinan dan meningkatkan standar kehidupan, bukan menentukan jumlah orang miskin.
BPS memiliki metode perhitungan garis kemiskinan yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan tingkat kemiskinan di Indonesia yang ditetapkan Bank Dunia berbeda dengan penetapan BPS.
Bank Dunia melaporkan tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 68,25% dari populasi pada 2024 dalam June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform. Angka itu mengalami peningkatan dibanding tingkat kemiskinan 2024 yang tercantum berdasarkan laporan Macro Poverty Outlook April 2025, yakni hanya 60,3% atau 171,9 juta penduduk miskin. Tingkat kemiskinan yang naik di Indonesia terjadi seiring langkah Bank Dunia untuk mengubah garis kemiskinan.
Sementara itu, BPS melaporkan persentase penduduk miskin pada September 2024 sebesar 8,57%, menurun 0,46 persen poin terhadap Maret 2024 dan menurun 0,79 persen poin terhadap Maret 2023
Kantor Komunikasi Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO) mengatakan perbedaan cara perhitungan garis kemiskinan ini terjadi karena kedua entitas tersebut memiliki tujuan yang berbeda.
Dalam hal ini, BPS memiliki tujuan untuk menangkap profil kemiskinan, sementara Bank Dunia bertujuan untuk melakukan perbandingan tingkat kemiskinan secara internasional.
"Inilah kenapa data BPS itu menangkap profil kemiskinan itu dibandingkan dengan data Bank Dunia, karena memang data Bank Dunia itu tujuannya bukan menangkap profil kemiskinan tapi untuk komparasi internasional," ujar Juru Bicara PCO Dedek Prayudi kepada wartawan, dikutip Rabu (11/6/2025).
Dalam hal ini, Bank Dunia resmi mengadopsi perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021 untuk menghitung tingkat kemiskinan, yang diterbitkan oleh International Comparison Program pada Mei 2024. Perhitungan itu berubah dibandingkan dengan standar PPP 2017 yang digunakan Bank Dunia pada laporan April 2025.
PPP merupakan ukuran relatif mata uang yang membandingkan harga pembelian sejumlah barang dan jasa tetap di berbagai negara.
Penerapan PPP 2021 menyebabkan revisi terhadap garis kemiskinan. Dalam hal ini, garis kemiskinan global telah direvisi dari US$2,15 menjadi US$3 per kapita per hari; Garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah bawah direvisi dari US$3,65 menjadi US$4,20 per kapita per hari; dan negara berpenghasilan atas direvisi dari US$6,85 menjadi US$8,3 per kapita per hari.
Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam US$ PPP atau purchasing power parity, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03.
Sementara itu, BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.
Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.
Dalam hal ini, BPS menghitung garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari. Sementara itu, komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.
Kedua komponen tersebut kemudian digabung dan dikonversi menjadi nominal dengan mengikuti standar harga di Indonesia. Maka, lahirlah garis kemiskinan versi BPS.
(lav)