Sedangkan Pasal 7B, memuat proses pemakzulan presiden atau wapres secara lebih detil tiap tahapannya. Awalnya, DPR harus mengambil putusan sah untuk mengajukan pemakzulan terhadap presiden atau wapres melalui sidang paripurna. Pemakzulan bisa diajukan jika dua pertiga anggota DPR setuju terhadap usulan tersebut; yang kemudian disahkan dalam sidang paripurna yang dihadiri dua pertiga anggota legislatif.
Pada saat ini, anggota DPR periode 2024-2029 berjumlah 580 orang. Sehingga usulan pemakzulan harus disetujui lebih dari 387 anggota DPR. Demikian pula sidang paripurna pengambilan keputusan usulan tersebut harus dihadiri lebih dari 387 anggota dewan.
Usai disepakati, DPR tak bisa langsung mengajukan usulan pemakzulan kepada MPR. DPR harus mengajukan pendapat tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Aturan tersebut mewajibkan MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan lebih dulu apakah pendapat DPR bahwa presiden atau wapres benar telah melakukan pelanggaran seperti yang tertuang pada Pasal 7A. MK kemudian harus menggelar sidang hingga putusan paling lama 90 hari usai berkas DPR diterima.
DPR baru bisa mengajukan usul pemakzulan ke MPR jika MK menyatakan pendapat tersebut terbukti secara hukum. Keputusan mengajukan usul tersebut juga kembali harus melewati proses politik dalam sidang paripurna.
MPR kemudian harus menggelar sidang untuk memeriksa usul pemakzulan tersebut paling lambat 30 hari usai diterima dari DPR. Termasuk, anggota majelis akan meminta presiden atau wakil presiden yang ingin dicopot untuk memberikan penjelasan atau pembelaan.
Keputusan pemakzulan juga harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri tiga perempat anggota majelis. Dalam rapat tersebut pun pemakzulan harus disetujui dua pertiga anggota MPR.
Pada periode ini, ada 732 orang anggota MPR. Sehingga keputusan pemakzulan harus disetujui lebih dari 488 anggota dalam rapat paripurna yang dihadiri setidaknya 549 anggota majelis.
(azr/frg)






























