Bloomberg Technoz, Jakarta – Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) mengusulkan kebijakan wajib pasok pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) timah setidaknya sebesar 20% dari total produksi nasional.
Plt Ketua Umum AETI Harwendro Adityo Dewanto mengatakan DMO untuk sektor timah dibutuhkan guna menjamin ketersediaan bahan baku, khususnya bagi proyek-proyek hilirisasi komoditas tersebut.
Dia menambahkan bahwa skema DMO yang diusulkan asosiasi pun bisa menyerupai kebijakan selanggam yang selama ini sudah diterapkan terhadap komoditas batu bara dan minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
“Mirip-mirip seperti itu, karena kami sudah hitung-hitung untuk hilirisasi yang ada di Indonesia, kebutuhan pabrik-pabrik hilirisasi timah itu tidak lebih dari 20%. Nah, untuk memenuhi pasokan itu tentunya harus ada DMO, karena kalau enggak, semuanya diekspor,” ujarnya ditemui di kompleks parlemen, usai rapat bersama Komisi VI DPR RI, Senin (19/5/2025) petang.

Saat ini, Harwendro menyebut serapan domestik timah baru sekitar 3%—5% dari total produksi nasional, sedangkan sisanya diekspor. Untuk dapat memenuhi kebutuhan industri hilir sebesar 20%, dibutuhkan mekanisme DMO.
“Penyerapan industri hilirisasi itu yang harus dipikirkan pemerintah. [Jangan sampai] sudah bikin hilirisasi, [ternyata] dalam setahun hanya ada kontrak 3 ton,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk mendorong ketersediaan timah bagi pasar domestik. Jika tidak, pasar lokal akan dibanjiri oleh produk timah dari luar negeri, padahal Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar timah global.
Dalam paparannya di Komisi VI, AETI memproyeksikan produksi timah Indonesia pada 2025 mencapai 50.000 ton, terkoreksi dari produksi timah tahun lalu yang mencapai 52.000 ton.
Adapun, produksi timah terus mengalami tren penurunan. Pada 2022 jumlahnya mencapai 74.500 ton. Pada 2023, produksi timah makin turun menjadi 72.000 ton, kemudian tahun berikutnya atau 2024 kembali turun menjadi 52.000 ton.
Asosiasi menyebut Indonesia berada di peringkat kedua dalam produksi timah global. Posisi pertama yakni China dengan produksi timah sebanyak 175.000 ton. Di sisi lain, RI memasok sekitar 20% kebutuhan logam timah dunia.
Harwendro juga memaparkan saat ini, baru ada tiga smelter timah yang memiliki proyek hilirisasi. Pertama, PT Mitra Stania Prima yang memiliki pabrik di Batam dengan kapasitas produksi solder sebanyak 4.000 ton per tahun atau ton per year (tpy).
Kedua, PT Timah Tbk (TINS) yang memiliki tiga proyek hilirisasi timah berupa solder dengan kapasitas produksi 2.000 tpy, tin chemical 21.000 tpy, dan tin powder 100 tpy.
Ketiga, PT Citra Persada Mulia yang memiliki smelter Kepulauan Riau dengan dua proyek hilir untuk memproduksi solder 4.000 tpy dan tin chemical 16.000 tpy.
“[Proyek] yang sudah berjalan baru Timah Industri, dua lagi mudah-mudahan tahun ini bisa beroperasi. [...] Lainnya ada Solderindo dengan proyek tin solder 4.800 tpy dan PT Pelat Timah Nusantara Tbk [NIKL] atau Latinusa dengan tin plate 160.000 tpy,” paparnya.
(wdh)