Kinerja terburuk masih dicatat oleh yen Jepang yang ambles pekan ini hingga 1,3% seiring kebangkitan indeks dolar AS kembali ke level November tahun lalu.
Di pasar offshore, rupiah NDF bergerak di kisaran Rp16.605/US$, sudah lebih menguat setelah sempat ambles hingga menyentuh Rp16.723/US$ pada Senin kemarin.
Indeks dolar AS, DXY, pagi ini bergerak stabil di kisaran 100,94.
Pelemahan rupiah pagi ini kontras dengan reli di pasar saham. IHSG dibuka melompat naik hingga 1,22% dan saat ini makin melaju di kisaran 6.938, mengikuti tren kenaikan pasar saham di seluruh dunia merayakan 'gencatan senjata' perang dagang antara Tiongkok dan AS selama 90 hari dengan tingkat tarif lebih rendah.
Sementara di pasar surat utang domestik, pergerakan yield cenderung naik untuk tenor lebih pendek.
SUN tenor 5Y tingkat imbal hasilnya naik 2,4 pagi ini, bersama tenor 10Y yang juga naik 1,1 bps. Sedangkan tenor 1Y naik 1,7 bps.
Secara teknikal nilai rupiah masih ada potensi melemah setelah gagal menjebol level resistance potensial, sehingga masih berada di tren pelemahan.
Level support pertama di Rp16.550/US$ telah tertembus dan yang kedua di Rp16.580/US$ juga jebol.
Kini, rupiah berpotensi melemah lanjutan dengan menuju level Rp16.600/US$ hingga Rp16.610/US$ sebagai support paling kuat.
Sudah murah
Mata uang di kawasan emerging Asia sejatinya saat ini dinilai sebagai kelompok aset menarik menyusul valuasinya yang sudah begitu murah, menandingi pamor mata uang emerging Amerika Latin.
Won Korsel, rupiah Indonesia juga rupee India keluar sebagai mata uang di kawasan ini yang paling undervalued, alias valuasinya jauh di bawah harga wajarnya dibanding dengan rata-rata historis, berdasarkan data yang dikompilasi oleh Bloomberg.
Terlebih di tengah perkembangan baru perang dagang yang mendingin cepat pasca kesepakatan Tiongkok-AS, yang potensial mengubah total narasi yang berjalan selama enam pekan terakhir.
Namun, bagi rupiah ceritanya mungkin tidak semudah mata uang negeri tetangga. Rupiah masih diliputi kerentanan terutama dari sisi fundamental yaitu pelebaran defisit transaksi berjalan akibat potensi tersendatnya arus masuk modal asing lebih lanjut.
Optimisme pasar bahwa 'gencatan senjata' perang dagang 2.0 itu bisa memberi dorongan lebih baik pada perekonomian global, telah melonjakkan harga minyak dunia.
Pada Rabu pagi ini, komoditas minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan di atas level US$63 per barel setelah melonjak hampir 10% dalam empat sesi sebelumnya. Sementara itu, minyak Brent ditutup mendekati US$67 per barel.
Bagi Indonesia, situasinya akan sedikit lebih sulit karena harga minyak yang mahal bisa membawa defisit neraca berjalan jadi makin lebar.
Selain itu, ketika skenario resesi global makin ditinggalkan akibat perang dagang yang mendingin, itu berarti peluang kecil juga bagi bank sentral AS, Federal Reserve, memangkas bunga acuan.
Yield US Treasury, surat utang AS, yang makin tinggi juga kebangkitan lagi indeks dolar AS, akan membuat aliran modal asing masuk ke dalam negeri kembali tersendat. Dalam jangka pendek, rupiah akan cenderung tertekan.
"Pelemahan rupiah ke level Rp16.600/US$ adalah hal yang wajar, tapi bukan waktunya untuk membeli dolar karena secara fundamental rupiah masih bisa menguat lebih jauh menuju akhir tahun," kata Kepala Ekonom Trimegah Securities Fakhrul.
(rui)




























