“Karena tidak fair, masak penyaluran BBM Rp135 triliun—Rp170 triliun subsidi itu diawasi oleh BPH Migas, tetapi kalau penyaluran LPG 3 Kg Rp80 triliun—Rp87 triliun hanya diawasi oleh pejabat setingkat eselon II di Kementerian ESDM dengan anggotanya cuma tujuh orang” ucapnya.
“Regulasinya benar, tetapi kalau pengawasannya enggak benar pasti akan ada sesuatu yang tidak diinginkan.”
Bagaimanapun, dia menyebut telah belajar dari pengalaman kelangkaan LPG bersubsidi tiga bulan lalu. Bahlil menegaskan tidak ingin kecolongan oleh sejumlah oknum yang bermain dalam pendistribusian LPG 3 Kg.
“Saya enggak akan mau kecolongan lagi. Saya kasih tahu memang ya, siapa yang masih main-main tentang urusan ini. Saya tidak akan mundur selangkah pun,” ucapnya.
Implementasi Sulit
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Ardhi Wardhana berpandangan keinginan Bahlil untuk membentuk atau menambah tugas baru bagi BPH Migas dalam pengawasan pendistribusian LPG 3 Kg akan sulit dalam praktinya.
“Kalau membentuk badan baru, saya rasa di tengah kondisi kebijakan efisiensi anggaran ini akan sangat sulit ya secara politik. Pasti akan banyak kecaman dari ahli dan masyarakat,” kata Ardhi.
Ardhi berpandangan jika kewenangan BPH Migas ditambah untuk mengawasi LPG 3 Kg, yang selama ini dilakukan oleh Kementerian ESDM, dibutuhkan banyak penyesuaian.
Pertama, komoditas gas minyak cair berbeda dengan BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar dari segi penggunaan di konsumen, sehingga perlu ada penyesuaian data.
Adapun, mekanisme pemberian kuota yang biasa dilakukan BPH Migas berbasis jumlah moda transportasi, sedangkan LPG basisnya rumah tangga dan perseorangan.
Kedua, ketika akan dibentuk direktorat baru untuk mengawasi LPG 3 Kg akan memakan waktu dalam implementasinya.
“Sementara itu, kita ketahui pengurangan subsidi urgen dilakukan dalam waktu dekat mengingat kebutuhan pembiayaan agenda-agenda pemerintah. Ditambah lagi, sumber daya manusia sangat terbatas untuk mengawasi implementasi pengawasan di daerah,” jelas Ardhi.
Ardhi menggarisbawahi idealnya ada lembaga lain di luar Kementerian ESDM untuk mengawasi distribusi LPG 3 Kg karena ESDM sebagai regulator dan sebaiknya fungsi regulator dan pengawasan tidak dalam satu badan.
Menurut dia, pemberian wewenang kepada BPH Migas untuk mengawasi LPG Kg bukan tidak mungkin, tetapi membutuhkan waktu pengkajian yang baik dan cermat.
“Lembaga yang ada saat ini memang BPH Migas. Akan tetapi, kajian dan persiapannya tidak bisa dadakan supaya perencanaannya matang,” imbuhnya.
Ardhi belum bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengkaji tugas baru tersebut bagi BPH Migas. Menurutnya, BPH Migas perlu mempersiapkan struktur dari pusat sampai ke daerah dengan waktu yang tidak sebentar.
“Ditambah, memberi pemahaman rantai pasok dan sifat komoditas LPG yang beda dari BBM ke BPH Migas juga pasti butuh waktu. Selain itu harus harmonisasi peraturan juga,” ucap Ardhi.
Di tempat terpisah, BPH Migas menyatakan masih mengkaji ihwal rencana pemerintah akan membentuk badan baru atau menambah tugas bagi BPH Migas untuk mengawasi pendistribusian LPG 3 Kg.
“Ya mungkin nanti akan dikaji dulu apakah memang mau ditugaskan ke BPH Migas atau kah nanti akan dibentuk memang ada badan [baru] yang mengurusi LPG 3 Kg,” kata Erika Retnowati, Kepala BPH Migas saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senin (10/2/2025).
Erika menjelaskan sesuai tugas pokok dan fungsi BPH Migas tidak memiliki tugas untuk mengawasi distribusi LPG 3 Kg. Ketika nanti ditugaskan, kata dia, regulasi yang ada harus diperbaiki.
“Jadi kalau memang mau ditugaskan mungkin harus diperbaiki regulasinya dahulu ,” ujarnya.
Menurut Erika, pihaknya telah mendapatkan informasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai wacana tersebut.
“Sudah diinformasikan dan kita sama-sama mengkaji secara regulasinya."
(mfd/wdh)




























