Bloomberg Technoz, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan masih mengkaji sejumlah pasal kontroversial pada Undang-undang nomor 1 tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara atau UU BUMN). Hal ini merujuk pada Pasal 9G yang menyebut dewan pengawas, dewan komisaris, dan direksi BUMN bukan penyelenggara negara.
Selain itu, Pasal 4 ayat (5) yang menyebut kerugian BUMN bukan kerugian negara; karena modal negara kepada perusahaan pelat merah sudah bukan lagi aset negara, tapi menjadi kekayaan perusahaan tersebut.
“Kami sedang melakukan kajian terhadap UU baru yang dimaksud dan kita tunggu nanti seperti apa,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar di kantornya, Kamis (08/05/2025).
Menurut dia, Korps Adhyaksa tersebut masih harus mengkaji UU BUMN yang baru. Termasuk, kata dia, konsekuensi beleid tersebut terhadap kewenangan yang dimiliki Aparat Penegak Hukum (APH).
Rumusan pasal tersebut menimbulkan polemik karena frasa penyelenggara negara menjadi pintu sejumlah APH, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengusut tindak pidana korupsi di BUMN. Beleid baru berpotensi melindungi para pejabat BUMN dari potensi dijerat pada kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara.
Harli mengatakan, kejaksaan pada saat ini masih berpegang pada UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); bukan UU BUMN. Sehingga, jika unsur-unsur korupsi yang tertuang dalam UU Tipikor terpenuhi maka perkara tersebut dapat dinilai sebagai kasus korupsi.
“Misalnya ada fraud, misalnya di situ ada hal-hal yang bersifat pemufakatan jahat, tipu muslihat, dan sebagainya. Sementara di sini kita tahu ada aliran uang negara, itu tentu adalah tugas APH untuk melakukan penelitian apakah disitu ada peristiwa pidana atau tidak,” ujar Harli.
(azr/frg)