“Kami, FINI melalui informasi dan pemberitaan mengetahui dan memahami bahwa Pemerintah Filipina saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-undang [RUU] yang melarang ekspor mineral mentah, termasuk nikel yang ditargetkan dapat berlaku mulai Juni 2025,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Februari 2025 sebanyak 2,38 juta ton. Angka ini naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebanyak 2,07 juta ton.
Selain itu, menurut International Energy Agency (IEA), tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Sementara itu, dari sisi pemurnian atau smelter a.l. Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).
Bahana Sekuritas sebelumnya menyebut isu rencana pemangkasan produksi bijih nikel Indonesia pada tahun ini berpotensi meningkatkan ketergantungan impor nikel dari Filipina.
“Pembatasan kuota penambangan berpotensi meningkatkan ketergantungan bijih impor termasuk dari Filipina,” tulis analis Bahana Sekuritas Jeremy Mikael dalam risetnya medio Januari.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri awal tahun ini memaparkan pemerintah menargetkan produksi nikel 2025 sebanyak 220 juta ton, di bawah rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan nikel yang diizinkan sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.
Sementara itu, smelter nikel yang beroperasi saat ini sebanyak 49 rotary kiln-electric furnace (RKEF) dan 5 high pressure acid leach (HPAL) dengan kebutuhan 290 juta ton bijih nikel.
Rencana Filipina
Pada Februari, Kongres Filipina menyatakan rencana untuk meratifikasi RUU yang bakal melarang ekspor mineral mentah paling cepat pada Juni 2025. Hal ini merupakan sebuah rencana, yang menurut para investor, dapat menyebabkan gelombang penutupan tambang di negara tersebut.
Kongres Filipina akan reses sejak Februari dan sesi akan dilanjutkan pada Juni, tetapi Presiden Senat Francis Escudero berharap akan ada pertemuan komite bikameral dengan anggota dari Senat dan DPR untuk membahas RUU tersebut.
"Saya berharap itu akan dilakukan selama masa jeda sehingga kami dapat meratifikasinya ketika sesi dilanjutkan," kata Escudero dalam sebuah pengarahan, Kamis (6/2/2025).
RUU tersebut bertujuan untuk melarang ekspor bijih mentah dalam upaya untuk meningkatkan hilirisasi sektor pertambangan.
Filipina berupaya untuk memberlakukan larangan tersebut lima tahun setelah undang-undang ditandatangani untuk memberi waktu kepada para penambang untuk membangun smelter.
Dalam kaitan itu, Pemerintah Filipina ingin mengadopsi keberhasilan pemasok nikel No. 1 dunia, Indonesia, dalam meningkatkan pendapatan pertambangan.
Indonesia sudah lebih dahulu menerapkan larangan ekspor bijih logam sejak 2020 dan meningkatkan nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di negara ini.
Filipina dapat mengikuti jejak Indonesia, menurut Escudero, sebagai sebuah contoh negara kaya sumber daya yang mendorong nilai lebih dari mineralnya.
"Dari segi mineral, Filipina adalah negara kaya yang berpura-pura miskin," kata senator tersebut.
Kurang dari 3% dari 9 juta hektare (22 juta hektare) lahan yang diidentifikasi oleh Pemerintah Filipina sebagai lahan dengan cadangan mineral tinggi saat ini sedang ditambang.
(mfd/wdh)
































