Ditambah lagi, pelaku usaha membuka peluang untuk menurunkan inventori dan memilih untuk memanfaatkan stok yang sudah ada.
“Penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) menaikkan biaya impor. Pelaku usaha mencoba menjaga margin mereka dengan menaikkan harga,” tambah laporan S&P Global.
Produksi turun dengan laju tercepat sejak Agustus 2021. Permintaan memang melemah, baik di pasar domestik maupun internasional. Bahkan, permintaan ekspor turun 2 kali dalam 3 bulan terakhir.
Pelaku usaha merespons penurunan produksi dengan mengurangi tenaga kerja. Meski tidak banyak, tetapi ini menjadi pengurangan pertama dalam 5 bulan terakhir.
Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence, menyebut Indonesia mengawali kuartal II-2025 dengan catatan negatif. Sektor manufaktur mengalami kontraksi perdana dalam 5 bulan terakhir, dan mengalami penurunan tajam baik dari sisi penjualan maupun produksi.
“Indeks PMI mengalami penurunan paling tajam sejak Agustus 2021. Dalam jangka pendek, outlook masih mendung karena pelaku usaha memilih untuk mempertahankan kapasitas yang ada, menunjukkan tidak ada ekspansi untuk bulan-bulan ke depan.
“Akan tetapi, outlook untuk tahun ini masih positif. Pelaku usaha masih memperkirakan terjadi kenaikan produksi seiring perbaikan kondisi ekonomi dan daya beli. Namun, kapan waktu pemulihan itu terjadi agak memudar,” papar Bhatti.
- Dengan asistensi Ruisa Khoiriyah -
(aji)

































