“Sementara tentu saja IMF memperhitungkan tidak hanya tarif yang 9 April tetapi juga analisis-analisis yang lain. Tentu saja nanti berdampak kepada ekspor Indonesia. Dampak langsungnya terhadap AS dan juga dampak tidak langsung ekspor Indonesia ke China,” ujar Perry dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dikutip Jumat (25/4/2025).
Perry mengatakan proyeksi defisit neraca transaksi berjalan untuk Indonesia tergolong rendah. Apalagi, standar internasional menetapkan defisit transaksi berjalan untuk negara berkembang yang tidak melebihi 3% masuk dalam kategori stabilitas eksternal kuat.
Selain itu, Perry juga menjelaskan dua indikator lain yang menandakan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia cukup kuat dalam menghadapi gejolak global.
Pertama, BI optimis bahwa secara keseluruhan defisit transaksi berjalan dapat dipenuhi dari surplus transaksi modal, baik dari inflow portofolio maupun penanaman modal asing. Termasuk juga dampak positif dari kebijakan pemerintah berupa devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA).
“Jadi defisit transaksi berjalan kami meyakini dapat dipenuhi dari surplus transaksi modal dan finansial sehingga secara keseluruhan neraca pembayaran akan surplus,” ujarnya.
Kedua, posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia per akhir Maret sebesar US$157,1 miliar, terbesar sepanjang masa.
Angka ini setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dengan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar tiga bulan impor.
"Pertimbangan-pertimbangan tadi yang menyimpulkan optimisme kami bahwa ketahanan eksternal ekonomi Indonesia kuat dalam menghadapi gejolak global," ujarnya.
(dov/wdh)
































