Menurut Bisman, ketentuan besaran tarif pajak dan nonpajak dengan rezim nail down bisa diberikan kepada Freeport jika dasarnya adalah KK.
Berbeda dengan IUPK, KK bersifat kontrak atau perjanjian sehingga kedudukan para pihak (pemerintah dan perusahaan) sama atau sejajar. Walhasil, isi kontrak tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak yang terlibat.
Saat jangka waktu KK menjelang habis, Freeport melakukan perpanjangan pada 2018 dan status kontraknya berubah menjadi IUPK sesuai dengan Undang-undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), yang sekarang telah menjadi UU No. 2/2025.
"Sesuai UU Minerba, [izin dalam industri pertambangan] sudah tidak ada lagi kontrak atau perjanjian, yang ada hanya dalam bentuk izin. Dalam bentuk izin, posisi pemerintah atau negara jelas lebih tinggi dan powerful," kata Bisman.
Dengan demikian, Bisman berpendapat setelah mendapatkan IUPK, Freeport harus tunduk dan patuh terhadap setiap regulasi yang ditetapkan pemerintah, termasuk jika terdapat pembaruan aturan.
Artinya, lanjut Bisman, sekalipun terdapat pengecualian atau pengkhususan kebijakan terhadap Freeport, pemerintah tetap bisa melakukkan perubahan tanpa perlu renegosiasi terlebih dahulu dengan perseroan seperti pada era kontrak karya.
Meskipun Freeport memastikan akan tetap membayar royalti dengan tarif nail down setelah aturan baru royalti minerba terbit, Bisman menilai pemerintah tidak akan melanggar kesepakatan jika 'memaksa' PTFI membayar sesuai PP No. 19/2025.
Dia juga menyebut hal tersebut bukan merupakan preseden negatif, tetapi merupakan konsekuensi perpanjangan izin dengan perubahan dari bentuk KK menjadi IUPK.
Bisman juga berpendapat Freeport, yang saat ini merupakan anggota dari holding BUMN sektor pertambangan—PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) — yang mayoritas sahamnya dimiliki negara, seharusnya bisa berkomunikasi secara internal dengan pemerintah.
“Hal ini bukan masalah krusial yang semestinya bisa diselesaikan di internal pemerintah,” ucapnya.
Namun demikian, Bisman tidak menampik bahwa kebijakan baru pemerintah yang menaikkan tarif royalti minerba memang memberatkan bagi pelaku usaha pertambangan. Kebijakan tersebut dinilai kurang tepat di tengah kondisi ekonomi yang melambat.
“Kebijakan ini tidak bijak di tengah situasi sulit pengusahaan dan lambatnya ekonomi,” imbuhnya.
Freeport sebelumnya menegaskan perusahaan akan tetap membayar royalti dengan tarif nail down sesuai kesepakatan dalam IUPK hingga masa berlakunya habis pada 2041.
Dengan demikian, Freeport tidak akan membayar royalti sesuai dengan besaran tarif yang baru di dalam PP No. 19/2025. Peraturan ini diterbitkan pada 15 April 2025 dan berlaku efektif per 26 April 2025.
“Seperti yang sempat disampaikan, PTFI [tetap membayar tarif royalti tembaga] sesuai IUPK ya,” ujar VP Corporate Communications Freeport Indonesia Katri Krisnati saat dimintai komentar ihwal pemberlakuan PP No. 19/2025, Senin (21/4/2025).
Bayar Lebih Tinggi
Dalam sebuah kesempatan medio bulan lalu, Presiden Direktur Freeport Tony Wenas mengeklaim, dengan kesepakatan tarif nail down, selama ini perseroan sudah membayar tarif royalti yang lebih tinggi dari aturan yang berlaku.
Jika menilik besaran tarif royalti yang berlaku saat KK Freeport diperpanjang menjadi IUPK pada 2018, tarif yang diberlakukan kepada Freeport sebenarnya sama saja dengan aturan yang berlaku saat itu, yaitu; tembaga 4%, emas 3,75%, dan perak 3,25%.
Peraturan yang berlaku ketika itu adalah PP No. 9/2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM.
Namun, memang, besaran tarif royalti tembaga, emas, dan perak saat itu baru mengalami kenaikan moderat dari tarif sebelumnya, sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM saat itu, Bambang Gatot.
"Royalti emas 1% sekarang menjadi 3,75%, tembaga dari 3,75% menjadi 4%, perak 1 % menjadi 3,25%, nikel 0,9% menjadi 2%,” ujarnya saat rapat bersama Komisi VII DPR RI, akhir Juli 2018, dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM.
“Ini sebagian besar sudah diterapkan oleh perusahaan-perusahaan, sebagai contoh PT Freeport, walaupun amandemen kontrak belum selesai dilakukan, tetapi mereka sudah menerapkan ketentuan tarif tersebut sejak 2015 pada waktu kita merenogisasikan [perpanjangan kontrak karya PTFI menjadi IUPK].”
Menteri ESDM ketika itu, Sudirman Said, juga menggarisbawahi kenaikan royalti minerba tidak bisa dilakukan terlalu drastis karena pertimbangan kondisi industri pertambangan yang tengah dihadapkan pada penurunan harga komoditas.
"Karena pertimbangan industri yang parah betul, kita rem, karena kita tidak ingin mematikan industri dan mereka tidak mendapatkan apa-apa. Paling tidak membuat mereka survive employment, tidak terlalu drop,” jelas Sudirman pada kesempatan yang sama.
Ikut Aturan
Di sisi lain, pada era pemerintahan saat ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia kukuh menginginkan Freeport untuk membayar iuran royalti sesuai dengan usulan kenaikan tarif baru yang ditetapkan pemerintah.
“[Freeport akan dikenai tarif royalti] sesuai aturan [peraturan menteri keuangan/PMK] dan kita kenakan 'pajak' yang paling tinggi. Kena dong, masak enggak kena,” ujar Bahlil saat ditemui di Istana Negara, Kamis (20/3/2025) malam, usai membahas penyesuaian tarif royalti bersama Presiden Prabowo Subianto.
Hal itu ditegaskan kembali oleh Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam kesempatan terpisah sehari setelahnya.
“[Tarif royalti Freeport] mengikuti aturan yang berlaku. Sudah jelas itu, sesuai aturan. Ada statement dari Pak Menteri [Bahlil Lahadalia] kemarin,” kata Dadan saat ditemui di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Kertapati, Palembang, Sumatra Selatan, Jumat (21/3/2025).
Untuk diketahui, pada 2018 atau saat Freeport memperpanjang KK menjadi IUPK usai melakukan divestasi sahamnya sebesar 10% kepada pemerintah, perseroan dan pemerintah memang menyepakati tarif pajak statis atau nail down yang dinilai dapat menguntungkan kedua pihak.
Nail down dalam konteks perpajakan berarti kepastian penetapan besaran tarif secara definitif atau tidak berubah (flat) hingga masa kontrak atau izin usaha suatu perusahaan berakhir.
Dalam sebuah kesempatan pada akhir Desember 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan sistem nail down tersebut sekaligus untuk memberikan kepastian agar negara mendapatkan penerimaan yang lebih tinggi ke depannya. Sistem nail down atau pentarifan khusus tersebut dimungkinkan dalam UU Minerba.
Hal itu mengacu pada Undang-undang No. 4/2009—yang telah diperbarui menjadi UU No. 3/2020 — tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Pasal 169 butir (c), yang mengatur soal pengecualian terhadap penerimaan negara sebagai upaya peningkatan penerimaan negara.
Tarif maksimal dengan sistem nail down saat itu diberikan kepada Freeport untuk menjamin kepastian setoran perseroan kepada kas negara. Dengan demikian, sekalipun terdapat perubahan peraturan perpajakan, tarif khusus yang berlaku kepada PTFI tidak akan terpengaruh.
Hal tersebut berlaku juga untuk tarif PNBP, seperti royalti, yang dibayar dengan besaran tarif khusus yang dipatok dengan perhitungan yang dapat memberikan kepastian agar negara mendapatkan penerimaan lebih besar.
Untuk diketahui, Freeport menyetor iuran royalti sekitar US$400 juta atau Rp7 triliun per tahun. Pada 2024, penerimaan negara dalam bentuk pajak, royalti, dividen, dan pungutan lainnya dari PTFI mencapai lebih dari US$4,6 miliar atau setara dengan Rp79 triliun.
Angka tersebut termasuk kontribusi ke daerah mencapai lebih dari Rp11,5 triliun.
Freeport juga melaporkan telah menyetorkan sekitar Rp7,73 triliun bagian pemerintah pusat dan daerah atas keuntungan bersih perusahaan pada periode 2024.
Adapun, setoran senilai Rp7,73 triliun itu terbagi untuk pemerintah pusat Rp3,1 triliun dan pemerintah daerah Rp4,63 triliun.
Perinciannya, setoran ke Pemerintah Provinsi Papua Tengah sekitar Rp1,16 triliun dan Pemerintah Kabupaten Mimika sekitar Rp1,92 triliun.
Sementara itu, kabupaten lain di Provinsi Papua Tengah yakni Kabupaten Nabire, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Intan Jaya masing-masing Rp221,2 miliar, sehingga total tujuh kabupaten lain di Provinsi Papua Tengah menerima sekitar Rp1,55 triliun.
Selain itu, Freeport juga mengucurkan dana investasi sosial dengan nilai lebih dari Rp2 triliun dan akan terus bertambah sekitar US$100 juta atau Rp1,5 triliun per tahun sampai dengan 2041.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)






























