Logo Bloomberg Technoz

Batu Bara Termal

Lebih lanjut, dia mengatakan bahan baku yang digunakan untuk diproses menjadi DME merupakan batu bara dengan kandungan kalori rendah atau termal. Menurutnya, batu bara yang dihasilkan RI makin lama berkualitas rendah. Untuk itu, perlu dimanfaatkan dalam bentuk DME guna meningkatkan nilai tambah.  

“Jadi, keuntungannya itu ada ketersediaan energi dalam negeri. Di lain pihak kan juga keandalan, ketahanan juga bisa terlaksana,” imbuhnya.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya mengonfirmasi proyek DME tidak hanya akan dibangun di Sumatra Selatan, tetapi juga di wilayah Kalimantan.

Rencana tersebut, menurutnya, telah dibahas dengan Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas, sebagai tindak lanjut mengenai pembahasan pekan lalu ihwal hilirisasi tahap pertama yang akan dibiayai Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

“Kita juga akan langsung melakukan pembangunan DME sebagai substitusi dari [impor] LPG . Ini akan kita lakukan di samping hilirisasi sektor perikanan, perhutanan, dan perkebunan,” ujarnya di Istana Negara, usai rapat tersebut, Senin (10/3/2025) malam.

“[Lokasinya] di Sumatra dan Kalimantan. Salah satu opsinya seperti itu. Nanti kalau sudah final, saya umumkan lagi.”

Ide gasifikasi batu bara menjadi DME pada pemerintahan Presiden Joko Widodo pernah dipasrahkan pemerintah ke Bukit Asam, dengan bantuan investasi dari APCI asal AS.

Proyek itu sejatinya direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.

Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI, proyek itu mulanya digadang-gadang sanggup menghasilkan DME sekitar 1,4 juta ton per tahun dengan memanfaatkan 6 juta ton batu bara per tahun.

Namun, pada medio 2023, APCI hengkang dari proyek tersebut untuk fokus menggarap proyek hidrogen biru di AS. Keputusan hengkang tersebut lantas membuat kelanjutan nasib proyek gasifikasi batu bara menjadi DME terkatung-katung hingga saat ini.

Dari kalangan ekonom, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengeklaim—berdasarkan riset lembaganya — negara berpotensi kehilangan pendapatan royalti senilai Rp33,8 triliun per tahun jika hilirisasi batu bara menjadi DME tetap dipaksakan.

“Hasilnya apa? Hasilnya negara itu berpotensi kehilangan setoran royalti Rp33,8 triliun per tahunnnya. Karena apa? Karena hilirisasi batu bara ini diberikan insentif 0% royalti dalam Undang-undang Cipta Kerja [UU Ciptaker],” ujarnya.

Bhima berpendapat jika Indonesia tetap mendorong proyek DME batu bara yang mahal secara keekonomian dan membutuhkan biaya besar, ujung-ujungnya pemerintah akan terpaksa memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang berinvestasi di proyek ini.

“Insentifnya adalah royalti 0%. Berarti ada kehilangan tuh Rp33,8 triliun estimasinya per tahun.”

Dia pun menekankan agar hilirisasi batu bara tidak malah membebani keuangan negara dengan bertambahnya pos subsidi gas untuk proses gasifikasi menjadi DME.

“Proyek yang didanai tidak boleh menimbulkan konsekuensi penambahan beban APBN, misalnya dalam bentuk subsidi gas di proyek gasifikasi batu bara [DME],” katanya.

(mfd/wdh)

No more pages