Kobalt di London Metal Exchange (LME) hari ini diperdagangkan di US$29.210/ton, melonjak 5,26% dari penutupan hari sebelumnya. Berbanding terbalik, nikel dilego di US$16.493/ton, terkoreksi 0,35%. Angka ini terpelanting jauh dari rekor tertinggi harga jual nikel di atas US$20.000/ton pada kisaran 2022—2023.
Dia menggambarkan kandungan kobalt ikutan dalam bijih nikel yang diperdagangkan pada 2023—2024 mencapai sekitar 0,1%. Jika kobalt ikutan tersebut dikenai royalti, Meidy menyebut pemerintah sebetulnya berpotensi mendapatkan tambahan pemasukan sekitar US$600 juta.
Dengan demikian, dia mengusulkan agar pemerintah lebih baik menerapkan royalti kobalt sebagai mineral ikutan dari bijih nikel, ketimbang menaikkan tarif royalti progresif untuk bijih nikel itu sendiri.
Sudah Diusulkan
Di dalam dokumen paparan usulan penyesuaian tarif royalti oleh Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dilihat Bloomberg Technoz, logam kobalt sebagai produk ikutan nickel matte sebenarnya sudah diusulkan pemerintah untuk dikenai tarif royalti.
Selama ini, kobalt tidak termasuk golongan mineral yang terpapar royalti. Namun, Ditjen Minerba mengusulkan agar kobalt dikenai iuran royalti single tariff sebesar 1,5% dan kobalt ikutan nickel matte dikenai royalti single tariff 2%.
Hanya saja, Meidy menilai usulan tersebut belum mencakup formulasi harga bijih kobalt, sehingga penerapan royaltinya berpotensi rancu.
“Misalnya begini, saya menjual bijih nikel [kadar 1,5%] dengan HMA US$30/ton. Namun, di situ ada kandungan kobaltnya 0,1%. Nah, itu formulasi perhitungan [harga kobalt ikutan untuk menentukan royalti] bagaimana? Karena HMA kobalt ada, tetapi kan selama ini belum ada transaksinya,” tutur Meidy.
“Kalau itu diperhitungkan, akan ada potensi penambahan penerimaan negara kan. Negara bisa mendapatkan duit, tetapi tidak dengan menekan perusahaan atau pengusaha. Fair gitu loh. Kalau membebani perusahaan, nanti tidak ada lagi yang mau produksi.”
Untuk diketahui, Indonesia sejak awal 2023 resmi menjadi produsen kobalt terbesar kedua di dunia setelah Kongo. Produksi kobalt Indonesia berhasil melampaui Rusia dan Australia pada 2022.
Benchmark Mineral Intelligence mencatat Indonesia sejauh ini telah menghasilkan lebih dari setengah dari suplai nikel dunia. Untuk kobalt, produksi RI ditaksir naik menjadi hampir 20% total produksi global pada 2030, dari hanya 1% pada 2021. Akan tetapi, selama ini kobalt tidak dikenai tarif royalti oleh pemerintah.
Dalam paparan Konsultasi Publik Usulan Penyesuaian Jenis dan Tarif PNBP SDA Minerba yang digelar Sabtu (8/3/2025), Ditjen Minerba Kementerian ESDM mengusulkan tarif batu bara dan logam dasar—seperti nikel, tembaga, dan timah — dinaikkan dengan sistem progresif dari sebelumnya single tarrif.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga mengusulkan sejumlah komoditas mineral yang selama ini tidak terpapar iuran royalti untuk dikenai tarif.
Usulan tersebut akan termuat dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian ESDM.
Berikut sejumlah komoditas pertambangan yang sebelumnya tidak dikenai royalti dalam PP No. 26/ 2022, tetapi diusulkan untuk dikenai tarif iuran royalti:
1. Intan
Dalam usulan baru tersebut, iuran tetap untuk kontrak karya (KK) tahap eksplorasi untuk Intan sebesar Rp30.000 dan tahap eksploitasi/OP sebesar Rp. 60.000, dan iuran produksi/royalti single tariff sebesar 6,5%.
2. Perak Nitrat
Dalam usulan terbaru, iuran royalti single tariff perak nitrat dikenakan sebesar 4%.
3. Logam Kobalt
Dalam usulan terbaru iuran royalti single tariff logam kobalt dikenakan sebesar 1,5%.
4. Kobalt sebagai produk ikutan dalam nickel matte
Dalam usulan terbaru iuran royalti single tariff dikenakan sebesar sebesar 2%.
5. Perak dalam konsentrat timbal
Dalam usulan terbaru iuran royalti single tariff dikenakan sebesar sebesar 3,25%.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)

































