Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Bank investasi global, Goldman Sachs, memperkirakan rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja lebih buruk dibandingkan mata uang Asia lain dalam waktu dekat, dalam riset terbaru yang dirilis hari ini.

Sentimen seputar kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump ditambah arus keluar modal asing yang terus berlangsung, akan menjadi faktor utama yang menyeret kinerja rupiah ke depan, menurut analisis Goldman Sachs, dilansir dari Bloomberg hari ini (27/2/2025).

"Rupiah merupakan mata uang paling volatile di kawasan Asia dengan tingkat beda tinggi terhadap dolar AS," kata Rina Jio, analis Goldman Sachs, dalam catatannya.

Pasar saat ini masih belum menghitung sepenuhnya (underpricing) risiko tarif AS. Dolar AS bisa semakin kuat ketika tarif terhadap China, Uni Eropa dan barang impor penting lain mulai diimplementasikan.

Di sisi lain, tekanan faktor musiman ketika musim pembagian dividen datang pada Maret dan April, akan meningkatkan permintaan dolar AS di Indonesia dan memberi tekanan lebih besar pada rupiah. Goldman Sachs menilai, faktor eksternal akan lebih dominan menyetir rupiah. 

Defisit fiskal 

Analis Goldman Sachs juga memprediksi, dalam jangka pendek performa surat utang tenor pendek potensial meningkat seiring dengan ekspektasi pemangkasan bunga acuan BI rate pada Maret, sejurus dengan upaya mendukung pertumbuhan domestik yang kian lesu.

Adapun untuk surat utang tenor panjang akan cenderung tertekan harganya, menyusul peningkatan risiko fiskal dan makin melimpahnya suplai surat utang di pasar. 

Pada perdagangan hari Kamis siang ini, rupiah sempat menyentuh level Rp16.443/US$ pada pukul 11:32 WIB, ketika IHSG ambles ke level terendah sejak 2021.

Bank Indonesia terindikasi mengintervensi pasar menahan kejatuhan rupiah. "Kami selalu berada di pasar dengan triple intervention untuk menjaga kepercayaan pasar," kata Edi Susianto, Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia, dilansir dari Bloomberg.

Triple intervention merujuk pada intervensi BI di pasar spot valas, domestic NDF dan pasar surat utang negara.

Defisit fiskal Indonesia pada 2025 ini diprediksi akan makin tinggi, menyentuh 2,9% dari PDB, dibandingkan proyeksi 2,5% yang digadang oleh Pemerintah RI.

Proyeksi kenaikan defisit fiskal itu, demikian dilansir dari Goldman, menyusul pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara Indonesia, juga ekspansi program 3 Juta Rumah oleh Presiden Prabowo Subianto.

(rui)

No more pages