Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) diperkirakan belum banyak berpengaruh terhadap kinerja ekspor-impor Indonesia. Seperti diketahui, Trump menerapkan tambahan tarif bea masuk sebesar 10% untuk impor dari China.
Beijing pun membalas. China memberlakukan pungutan (levy) untuk impor sejumlah komoditas dari Negeri Paman Sam. Salah satunya adalah batu bara.
Namun, hambatan bagi batu bara AS untuk masuk ke pasar China tidak membuat Negeri Adidaya lantas mengalihkannya ke negara lain, terutama Indonesia. Riset Bahana Sekuritas menyebut bahwa AS kebanyakan mengekspor batu bara kokas, sementara kebutuhan Indonesia mayoritas adalah batu bara termal.
Ancaman tarif a la Trump juga belum membuat China mengalihkan pembelian. Untuk batu bara, misalnya, China menumpuk stok dengan impor dari Mongolia dan Rusia.
Surplus Neraca Dagang Menyusut
Impor yang tumbuh lebih cepat ketimbang ekspor kemudian mempengaruhi neraca perdagangan. Konsensus Bloomberg menghasilkan median proyeksi neraca perdagangan Januari sebesar US$ 1,86 miliar.
Jika terwujud, maka lebih sedikit ketimbang surplus Desember 2024 yang sebanyak US$ 2,24 miliar. Bahkan angka US$ 1,86 miliar (kalau terjadi) akan menjadi yang terendah sejak Februari tahun lalu atau hampir setahun terakhir.
Meski melambat, tetapi Indonesia yang berhasil terus mempertahankan surplus neraca perdagangan adalah sebuah pencapaian tersendiri. Apabila Januari surplus lagi, maka neraca perdagangan yang positif akan tercipta selama 57 bulan beruntun atau hampir 5 tahun tanpa putus.
(aji)































