Meski demikian, dia mengungkapkan masih ada revisi UU lain yang masih harus dibahas oleh Komisi XII DPR, sehingga pembahasan RUU Migas kemungkinan baru dilakukan setelah itu.
Iklim Investasi Hulu
Di sisi lain, Eddy mengakui RUU Migas mendesak untuk segera disahkan, sebab Indonesia perlu membenahi iklim investasi hulu migas dan meningkatkan lifting migas yang terus menurun.
“Kita melihat lifting migas kita turun dari tahun ke tahun. Target lifting tahun ini saja sebesar 612.000 barel per hari mungkin tidak tercapai, hanya sekitar 570.000 barel per hari,” ungkap Eddy.
Penurunan lifting migas ini, kata Eddy, menjadi indikasi bahwa sektor migas Indonesia tidak cukup menarik bagi investor. Untuk itu, revisi undang-undang diharapkan dapat membuat regulasi lebih ramah investasi (investor-friendly) dan meningkatkan minat investasi di sektor migas.
Eddy menegaskan DPR memiliki komitmen kuat untuk menyelesaikan RUU Migas sesegera mungkin setelah pembahasan RUU EBT selesai.
Langkah ini dianggap penting untuk mengatasi berbagai tantangan di sektor migas, terutama dalam menarik investasi yang lebih besar demi keberlanjutan energi nasional khususnya target Presiden Prabowo untuk swasembada energi.
Kalangan pengusaha migas di Tanah Air membenarkan tren peningkatan investasi di sektor ini tidak berjalan terlalu masif dibandingkan dengan sektor pertambangan dalam 10 tahun terakhir.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Elan Biantoro mengatakan hal tersebut setidaknya terjadi karena tiga alasan.
Pertama, kepastian hukum. Hal ini merujuk pada Undang-undang (UU) No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), yang beberapa pasalnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada November 2012.
“UU Migas sudah 12 tahun tidak selesai diundangkan. Pada November 2012 ada yang menuntut ke MK untuk dibatalkan beberapa pasal-pasalnya.
Dengan demikian, waktu itu UU Migas diamputasi. Jadi ada pasalnya yang dibatalkan oleh MK, waktu itu Ketua MK-nya Pak Mahfud MD,” ujar Elan kepada Bloomberg Technoz, dalam sebuah kesempatan.
Walhasil, lembaga Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau BP Migas pun harus dibubarkan. Sebagai gantinya, terdapat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2012 yang mengamanatkan pembentukan Satuan Kerja Sementara Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Namun, Elan menggarisbawahi SKK Migas hanya merupakan lembaga sementara yang berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Padahal dahulu lembaga BP Migas itu adalah lembaga resmi yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Bahkan untuk ketuanya, kepalanya itu harus melalui fit and proper dari DPR. Jadi dahulu cukup tinggi [standarnya],” ujarnya.
Menurut Elan, hal tersebut membuat investor migas mulai melihat bahwa Indonesia tidak memiliki lembaga atau badan yang permanen dalam sektor hulu migas.
Kedua, perubahan rezim fiskal dari cost recovery menjadi gross split. Elan mengatakan perubahan rezim fiskal tersebut bersifat kontraproduktif dan membuat investor tidak melanjutkan investasi di Indonesia.
“Sebagian dari investor malah yang sudah ada di Indonesia tidak lagi melanjutkan, malah kembali ke negaranya atau pindah ke negara-negara lain,” ujarnya.
Elan tidak menampik masih terdapat pemain besar seperti ExxonMobil, BP, Eni, Mubadala Energy dan Harbour Energy yang masih berinvestasi di Indonesia. Namun, terdapat juga investor kelas kakap seperti ConocoPhillips hingga Chevron.
Kendati demikian, Elan mengakui tata kelola rezim gross split mulai mengalami perbaikan, khususnya usai mantan Menteri ESDM Arifin Tasrif meneken beleid penyederhanaan komponen split kontraktor dalam kontrak GS yang sebelumnya mencakup 13 komponen menjadi hanya 5 komponen.
Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 13/2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, yang diundangkan pada 12 Agustus 2024.
“Kemudian split-nya bisa menjadi lebih menarik buat investor, di mana bisa maksimal sampai 95% buat investor, 5% buat negara,” ujarnya.
Ketiga, aspek nonteknis. Hal ini berkaitan dengan tidak sinkronnya aturan yang berkaitan dengan perizinan pada kementerian.
-- Dengan asistensi Dovana Hasiana
(mfd/wdh)































