Bloomberg Technoz, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai bergabungnya Indonesia menjadi anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) akan menciptakan lebih banyak kerugian bagi Indonesia. Salah satunya, hilangnya fasilitas hibah dan subsidi bunga utang bagi Indonesia.
Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti menjelaskan bahwa jika Indonesia telah resmi menjadi anggota OECD maka akan diperlakukan normal sebagai negara maju, bukan negara berkembang lagi.
“Misalnya harusnya RI masih bisa dapat grant [hibah], ternyata karena sudah masuk negara maju bukan gak boleh dapat grant lagi. Kalau kita mau uang itu ya harus utang, tidak enaknya itu kalau RI masuk OECD,” kata Esther kepada Bloomberg Technoz, Rabu (29/5/2024).
Selanjutnya, saat ini Indonesia merupakan negara berpenghasilan menengah sehingga masih mendapatkan fasilitas subsidi bunga utang.
Namun, jika nanti Indonesia resmi menjadi anggota OECD, maka otomatis pendapatan Indonesia harus setara dengan negara maju dan fasilitas tersebut tidak bisa diberikan.
“Tapi karena masuk negara OECD, RI tidak dapat subsidi bunga, sehingga bunga utangnya diperlakukan sama atau normal dengan negara OECD yang lain,” tutur Esther.
Pada sisi lain, pemerintah sempat mengklaim masuknya Indonesia ke dalam keanggotan lembaga internasional itu memberikan sumbangan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai 1%.
Esther menilai bahwa potensi tersebut harus dibarengi dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan nilai produk yang diekspor pada negara-negara anggota OECD. Jika tidak, justru Indonesia yang dijadikan pasar oleh negara-negara tersebut.
Ia menilai bahwa nilai jual produk-produk Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan negara-negara OECD, sehingga potensi tambahan PDB tersebut perlu dicapai dengan usaha tambahan.
“Karena kita belum bisa memenuhi pasar mereka secara dominan ya, kalau masuk sudah ada tapi kan tidak signifikan kontribusi ekspornya terhadap total dari jumlah produk yang ada disitu,” lanjutnya.
Seperti diketahui, pemerintah melaporkan bahwa tahapan aksesi keanggotaan Indonesia kedalam OECD telah dimulai. Dengan begitu, pemerintah tengah menyesuaikan 26 sektor aturan agar setara dengan standar organisasi internasional tersebut.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) OECD Mathias Cormann menjelaskan pihaknya mulai meninjau 26 sektor kebijakan publik yang dimiliki Indonesia agar setara dengan standar yang dimiliki OECD.
“Kami akan bekerja sama untuk meninjau peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan praktik-praktik di Indonesia dengan tujuan untuk mendukung penyelarasan peraturan,” kata Cormann dalam konferensi pers Konferensi Pers lokakarya Proses Aksesi Indonesia dalam OECD, Rabu (29/5/2024).
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto mengatakan bahwa kebijakan yang dimiliki OECD membuat pemerintah perlu melakukan sinkronisasi aturan berbagai kementerian terkait agar berada dalam frekuensi yang sama dengan yang dimiliki OECD.
“Itu tentu selama ini kita melakukan sinkronisasi dari harmonisasi Undang-Undang Cipta Kerja, dan bagaimana implikasi operasionalisasinya kita tentu melihat tidak semua berjalan dengan mudah karena harus ada penyesuaian,” kata Airlangga dalam konferensi pers, Rabu (29/5/2024).
(azr/lav)