Logo Bloomberg Technoz

Berkat Tsingshan Holding Group Co, Nickel Industries Ltd berkembang dari penambang yang relatif kecil menjadi produsen logam terbesar keenam di dunia. Nikel diketahui makin marak digunakan dalam bermacam produk mulai dari baterai hingga baja nirkarat dalam waktu kurang dari satu dekade.

Korporasi produsen nikel terbesar dunia./dok. Bloomberg

Perusahaan yang dimiliki oleh miliarder Xiang Guangda itu telah membangun pabrik peleburan bagi perusahaan Australia tersebut dengan kecepatan dan biaya yang mengungguli para pesaingnya.

Sebagai imbalannya, Nickel Industries memberikan Tsingshan –yang sangat bergantung pada pasar China – akses ke investor Barat. Hal ini pun dimanfaatkan oleh perusahaan China untuk mendapatkan kembali modal yang telah dikucurkan ke Indonesia dan meraih peluang bagi China untuk masuk ke pasar kendaraan listrik AS melalui ‘pintu belakang’

“Mereka menyadari bahwa mereka harus mampu menjual ke pasar lain,” kata Angela Durrant, analis logam dasar utama di konsultan CRU Group. 

“Mereka ingin bisa mengatakan bahwa yang keluar bukan produk China.”

Pejabat di Tsingshan tidak menanggapi permintaan komentar. 

Valuasi Nickel Industries Ltd/dok. Bloomberg

Di sisi lain, bagi Nickel Industries, hubungannya dengan raksasa China ini bak pedang bermata dua.

Meskipun perusahaan-perusahaan China yang dipimpin oleh Tsingshan mendominasi hilirisasi nikel di Indonesia, beberapa perusahaan dan investor Barat khawatir ini akan menimbulkan ketergantungan pada perusahaan-perusahaan tersebut.

Di luar ketegangan geopolitik antara Beijing dan Washington, banyak perusahaan masih melihat Indonesia, yang menyumbang lebih dari setengah produksi nikel global, sebagai tempat yang berisiko untuk berinvestasi.

Hal ini sebagian akibat sejarah masa lampau dimana investor asing kerap kehilangan kendali atas aset di negara ini atau tiba-tiba terkena larangan ekspor komoditas mentah khususnya pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Ada pula kekhawatiran mengenai meluasnya penggunaan batu bara, kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan kecelakaan industri yang sering fatal. 

“Ada skeptisisme karena kami mendapat pukulan ganda karena berada di Indonesia dengan mitra China,” kata Chief Executive Officer Nickel Industries Justin Werner dalam sebuah wawancara bulan lalu.

Namun, tanpa Tsingshan, Nickel Industry tidak akan ada dalam bentuknya yang sekarang.

Perusahaan yang bermarkas di Sydney ini memulai aktivitasnya di Indonesia dengan memulai pertambangan di tempat yang saat itu merupakan cadangan nikel terpencil di Sulawesi, sebelah timur Kalimantan.

Namun, perusahaan terpaksa menghentikan operasinya ketika pemerintah melarang ekspor bijih mentah untuk mendukung industri peleburan dalam negeri pada 2014.

Pada saat itu, Tsingshan sedang membangun beberapa pabrik peleburan nikel pertama di Indonesia yang terletak hanya beberapa mil jauhnya, tetapi mengalami kesulitan membeli saham di tambang terdekat, menurut seseorang yang dekat dengan perusahaan tersebut.

Raksasa Tiongkok ini mulai membeli bijih perusahaan Australia tersebut — sebelum mengambil 20% saham seharga US$26 juta pada 2018. “Itulah asal mula hubungan ini,” kata Werner. “Itu bukan perencanaan besar kami, hanya kebetulan.”

Nickel Industries menggunakan dana tersebut dan dana lainnya untuk membeli 25% kepemilikan di dua jalur peleburan nikel yang sedang dibangun Tsingshan di Indonesia Morowali Industrial Park, yang dikenal sebagai IMIP, di pulau Sulawesi. 

Timbunan bijih nikel mentah di area laydown PT Sulawesi Resources di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah./Bloomberg-Dimas Ardian


Sejak kedatangannya di Indonesia 15 tahun yang lalu, Tsingshan telah memelopori gelombang investasi China senilai lebih dari US$30 miliar di sektor peleburan nikel.

Upaya tersebut dipusatkan pada kawasan industri besar seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang telah membantu lonjakan ekspor Indonesia dan pembangunan pabrik high-pressure acid leach (HPAL) yang menghasilkan nikel untuk sektor baterai.

Peningkatan produksi ini memicu anjloknya harga nikel pada tahun lalu, sehingga memaksa beberapa penambang di negara lain mempertimbangkan penutupan untuk selamanya.

Namun, berkat skala ekonomi, tenaga kerja murah dan batu bara, pabrik peleburan di dalam kawasan seperti IMIP tetap beroperasi. Pabrik tersebut termasuk empat pabrik yang mayoritas dimiliki oleh Nickel Industries yang dibangun oleh Tsingshan.

Konglomerat baja nirkarat tersebut telah menggunakan perusahaan Australia untuk mendiversifikasi investor yang terlibat di kawasan industri dan mengurangi konsentrasi risiko di sana, menurut seseorang yang mengetahui hal tersebut, sambil tetap mempertahankan pengaruhnya dengan memegang 23% saham perusahaan tersebut.

“Hubungan ini bersifat sepihak, tetapi menurut saya itulah yang harus mereka lakukan agar dapat beroperasi di Indonesia,” kata analis CRU, Durrant.

Meskipun kerja sama dengan China telah menjadi berkah bagi Nickel Industries sejauh ini, terdapat risiko penurunan yang jelas. Sebab, sejak didirikan, IMIP telah menjadi tempat terjadinya sejumlah kecelakaan industri. 

Kebakaran di fasilitas pengolahan nikel milik Tsingshan pada bulan Desember menewaskan 21 orang dan mendorong pemerintah untuk menuntut China meningkatkan operasi peleburan di negara tersebut. Insiden itu masih dalam penyelidikan.

Akses Pasar AS

Keterlibatan Tsingshan juga berpotensi menjadi hambatan untuk Nickel Industries mengakses pasar yang berkembang pesat, Amerika Serikat.

Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau inflation Reduction Act (IRA) yang dikeluarkan pemerintahan Biden menawarkan subsidi yang besar untuk kendaraan listrik, asalkan kendaraan tersebut hanya mengandung sedikit komponen dari perusahaan China.

CEO Werner mengatakan dia berharap pabrik HPAL yang baru dapat membantu mengubah hal tersebut ketika mulai beroperasi tahun depan, setelah itu Tsingshan akan menjual sebagian sahamnya kepada investor baru untuk memenuhi persyaratan IRA.

Pembangunan HPAL –oleh Tsingshan – baru saja dimulai. Bahkan tidak ada jalan beraspal menuju lokasi tersebut. Namun setelah hampir satu dekade bermitra dengan perusahaan China, Werner menunjukkan kepercayaan diri. “Semua yang China katakan akan mereka lakukan, telah mereka laksanakan,” katanya

(bbn)

No more pages